Tugas : Aplikasi Komputer
Hari/tanggal : Kamis, 17 Maret 2016
Dosen : Agus Faisal Asyha, M.Pd.I
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang
dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di
antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci.
Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang
lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah
dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat
dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta
ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Selain itu manusia juga dilengakapi unsur
lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbu manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral,
merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual.
Secara etimologi, menurut Raghib
Ashfahaniy akal memiliki arti al-Imsak (menahan), ar-Ribath
(ikatan), al-Hajr (menahan), an-Nahi (malarang), dan al-Man’u
(mencegah). Sedangkan secara terminologi, akal adalah segala potensi yang ada
pada diri manusia yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, mampu menahan
dan mengikat hawa nafsu. Akal memiliki dua makna yaitu : 1) Akal jasmani, salah
satu oragan tubuh yang lazim disebut dengan otak. 2) akal ruhani, cahaya nurani
yang dipersiapkan oleh Allah SWT yang berpotensi untuk memperoleh pengetahuan
dan kognisi melalui proses membaca dan berfikir. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa akal merupakan daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang
bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia.
Selain akal manusia juga dibekali
akan qalb (hati), secara bahasa qalb berarti bolak-balik, dan ini
menjadi karakteristik dari hati itu sendiri yang memiliki sifat tidak konsisten
dan perlu adanya pengelolahan tersendiri dengan bantuan nur ilahi. Al-Ghazali
melihat pengertian qalb dari dua aspek, yaitu aspek jasmani dan aspek ruhani.
Qalb jasmani adalah organ tubuh yang berbentuk seperti jantung pisang yang
terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan qalb ruhani adalah sesuatu yang
bersifat halus, ruhaniah, dan ketuhanan juga memiliki potensi afektif, iman,
dzikir, taqwa.
Al-qur’an menggunakan term qalb
dan fu’ad untuk menyebut hati manusia ketika dalam keadaan ketentraman
dan keyakinan. Sedangkan penggunaan kata shadr yang berarti dada atau
depan untuk menyebutkan keadaan suasana hati dan jiwa sebagai satu kesatuan
psikologis dalam kondisi yang lapang dan tak terbebani maupun sempit dan sedih.
Tetapi al-Qur’an menggunakan term qalb untuk menyebutkan akal ketika qalb
fi shadr dalam keadaan buta yang tidak mampu memahami realitas dan nilai
kehidupan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia
adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan
memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai
modal mengembangkan kehidupan.
Di dalam
al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun mengacu pada
makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga
istilah kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas.
1)
Basyar
Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali
dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar
pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai
makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf ayat 31
فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ
لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيم
“Maka
tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya)
dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini
bukanlah manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat
yang mulia”. (Q.S.Yusuf : 31)
Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir
yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat
ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi
moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan
penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain juga manusia disebut dengan kata basyar
dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang menceritakan
jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa pesan
Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak. Allah SWT berfirman dalam surat
maryam ali Imran ayat 47
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر
“Maryam
berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah
disentuh manusia (basyar)”. (Q.S.Ali
Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa yang
dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk
biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak
padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena
pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja.
Yakni sebagai manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum,
jalan-jalan di pasar, dan melakukan aktifitas lainnya.
Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas,
moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata umatnya.
Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah SAW untuk menegaskan bahwa secara
biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari yang
lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya. Dan
dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَي
“Katakanlah
(Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu.
Hanya saja aku diberi wahyu”. (Q.S.Al-Kahfi
: 110)
Beberapa
ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu
dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai
bentuk atau postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani,
makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar,
dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi
alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya. Fitrah manusia memang bergerak dan dinamis untuk memenuhi aspek-aspek
kebutuhan biologis ini Allah SWT memberikan aturan syariah yang benar agar
manusia senantiasa mendapat ridha Allah dan menjadi manusia yang sempurna
(insan kamil).
2.
Al-Insan
Kata al-insan
disebut sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut
manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai
makhluk istimewa, secara moral maupun spiritual. Keistimewaan itu tidak
dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan
secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan
keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan
dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada
diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses
penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk
pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Kategori pertama dapat
difahami melalui empat penjelasan sebagai berikut :
1.
Manusia
dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya
terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan
sebaik-baik penciptaan. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan
untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.
2.
Manusia adalah satu-satunya makhluk
yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah, suatu beban sekaligus tanggung
jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengelola bumi.
Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia
untuk menemukan hukum alam, menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui
nama-nama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk
menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan menurut Thabathaba’i
amanah dimaknai sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk
beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai
pemikul al-wilayah al-Ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain
disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secara metaforis
perjanjian itu digambarkan dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu
Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka
(seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”. (Q.S.al-A’raf
: 172)
3.
Merupakan
konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia
dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu
berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar
(pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan
kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya. Tugas
kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al-insan dibebani atau
dihubungkan dengan konsep tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Manusia
diwasiatkan agar berbuat baik karena setiap amal perbuatannya dicatat dengan
cermat dan mendapat balasan setimpal. Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan
dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan dan ditentukan
nasibnya di hari kiamat.
4.
Dalam
mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan
kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah.
Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong,
takabbur, dan musyrik.
Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi
negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran bahwa manusia itu cenderung
berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan suka
berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan enggan
membantu orang lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan
enggan berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari
akhirat.
Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila
dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi
kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara
mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu
negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian
manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat
al-ruh.
3.
An-Nas
Konsep an-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk
sosial. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak
240 kali. Salah satunya adalah :
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Wahai
manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal”. (Q.S.al-Hujurat : 13)
Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk
sosial, al-Quran tidak pernah melakukan generalisasi, melainkan
ditunjukkan dengan dua model pengungkapan :
- Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman, ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah. Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia, berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah, yang menyembah Allah dengan iman yang lemah.
- Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah.
Demikian banyaknya penyebutan kata al-nas dalam
al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai petunjuk – menunjukkan bahwa
sebagian besar bimbingan Tuhan diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk
sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan tidak
mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua
manusia betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu
untuk diatur Tuhan adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak,
kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan yang
terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan dan
masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena pada
aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali.