A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islam
sebagai agama pembawa kebenaran dan rahmatan lil ‘alamin, salah satu
fungsinya adalah untuk menyelesaikan berbagai problematikan di dalam
masyarakat. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin artinya agama yang
menghendaki kebaikan, kedamaian, dan keselamatan bagi pemeluknya. Islam sebagai
agama cinta damai yang memberikan kebaikan, memberikan solusi atas segala
permasalahan di muka bumi. Islam memberikan solusi, membawa perubahan, dan
menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, dalam hal ini ilmu pengetahuan sangat
berperan aktif untuk mengadakan suatu perubahan yang sesuai dengan syari’at
islam. Islam adalah satu-satunya agama wahyu, sudah final, autentik, dan tidak
memerlukan pengembangan dari siapa pun dan dalam bentuk apapun.
Islamisasi
merupakan sebuah karakter
dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan
integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology).
Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang
fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam
mencakup semua aspek dalam kehidupan manusia terutama yang erat kaitannya
dengan bidang ilmu pengetahuan. Berbicara tentang islamisasi ilmu, tentunya
tidak lepas daripada adanya pandangan bahwa perkembangan ilmu telah melebihi
kadar peranan akal dalam pembentukan
suatu ilmu sehingga berspekulasi terlalu jauh. Sehingga timbul upaya untuk
menarik kembali ilmu sendiri yang dalam hal ini harus
berlandaskan Islam.
Tokoh-tokoh
islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri tentang istilah ini, sesuai latar
belakang dan keahlian masing-masing.
1.
Menurut Sayed Husein Nasr, islamisasi ilmu
termasuk juga islamisasi budaya adalah upaya menerjemahkan pengetahuan
modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim dimana mereka
tinggal. Artinya, islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan
cara berpikir dan bertindak (epistemologis dan aksiologis) masyarakat
Barat dengan Islam.
2.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, seorang pakar
psikologi dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah
upaya menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti
menghubungkan kembali Sunnatullah (hukum alam) dengan al-Quran, yang
keduanya sama-sama ayat Tuhan.
3.
Menurut Naquib al-Attas, islamisasi ilmu adalah
upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip-prinsip
sekuler, sehingga terbentuk pengetahuan baru yang sesuai fitrah Islam.
4.
Menurut Ja’far Syeikh Idris, seorang ulama’
Sudan menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah suatu usaha yang terorganisir dan
perlahan-lahan yang bertanggung jawab mematuhi ajaran-ajaran agama islam baik
dalam hal politik, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya dari semua aspek
keidupan yang berpuncakpada realisasi masyarakat.
5.
Menurut Ziauddin Sardar, seorang doktor dalam
bidang fisika menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah sebuah proses yang
bertujuan untuk mengubah dan memperbaiki kajian ilmu yang bersifat radikal yang
sangat membahayakan bagi masyarakat, dam psikologi manusia modern secara
global.
Dalam hal ini, Naquib berbeda dengan
Nasr, islamisasi ilmu berkenaan dengan perubahan ontologis dan epistemologis,
terkait dengan perubahan cara pandang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu
dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa islamisasi
ilmu pengetahuan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengembalikan
pemikiran-pemikiran ilmu pengetahuan yang lebih mengedepankan rasio (akal) kepada
ilmu pengetahuan yang berpegang teguh pada ajaran islam (al-Qur’an dan hadits).
Namun, dengan pemaknaan Islamisasi ilmu sebagaimana diungkapkan para ahli di
atas, akan terbesit pemikiran bahwa Islam hanya digunakan sebagai upaya alat
sterilisasi terhadap perkembangan ilmu modern. Dengan kata lain, defenisi
tersebut belum mencapai substansi Islam sesungguhnya. Hal inilah menimbulkan
anggapan bahwa Islam hanya lebih memilih bersikap defense (bertahan)
terhadap perkembangan ilmu modern, sehingga memunculkan pula istilah “labelisasi
Islam”. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya muncul sebagai
respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler
dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam.
B. Latar Belakang Adanya
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan
al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya
landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat
berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free)
akan tetapi syarat nilai (value laden). Maksudnya adalah ilmu terikat
dengan nilai-nilai tertentu (value laden) yang berupa paradigma, ideologi atau
pemahaman seseorang. Pendefinisian
Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu
Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi
magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism),
nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Ibn Taimiyyah mendefinisikan ilmu
sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalîl (bukti). Dalil yang
dimaksud dapat berupa penukilan wahyu dengan
metode yang benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqaq).
Sedang yang dimaksud dengan "ilmu yang bermanfaat" adalah yang
bersumber dari Rasul SAW: “Sesungguhnya ilmu itu ada lah yang bersandar pada
dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka
sesuatu yang bisa kita katakan ilmu itu adalah penukilan yang benar dan
penelitian yang akurat”.
Ilmu
pengetahuan yang tidak netral ini sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran
dan pengalaman manusia Barat. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke
tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya
dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang
dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang
disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara
halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya
dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu,
al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum
diseleksi terlebih dahulu. Pengetahuan dan
semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali
untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam
suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan
serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan
karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat,
agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.
Kebenaran
dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan
wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang
didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau
perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat
pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan sekaligus
sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu
keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan
dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang
mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan
Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change)
yang tetap.
Sedangkan
pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas
dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran
dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan
manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam
konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat
dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan
kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup
Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif,
historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode
yang menyatukan tauhid. Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang
didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan
pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam
wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Dengan
demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang
dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah).
Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada
dikotomisme. Sedangkan
islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian
al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari
konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.
Islamisasi adalah
proses pembebasan manusia dari unsur mitologis, magic, animisme, dan kebudayaan
dari paham-paham sekular. Hal
ini berarti mengacu pada pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan
hidup (gaya hidup) yang telah di lansirkan oleh manusia Barat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses pengembalian kaidah
epistimologi dalam rangka membangun peradaban islam.
Sedangkan
alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al-Faruqi
adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan
muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi
yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin
berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari
kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau
menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan
meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya
dipertahankan.
Al-Faruqi menyebut istilah islamisasi ilmu
pengetahuan dengan Islamization of Knowledge (IOK), sedangkan dalam
bahasa Arab disebut Islamiyyatul Ma’rifah yang bermakna bahwa semua
disiplin ilmu (baik kontemporer atau tradisi islam) harus di islamkan. Menurut
al-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan adalah usaha untuk mengacukan kembali
ilmu, yaitu untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan
kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data tersebut,
menilai kembali tafsiran dan kesimpulan, membentuk kembali tujuan , dan
memberlakukannya sesuai dengan visi dan perjuangan islam.
Dari sudut metodologi,
al-Faruqi mengemukakan ide islamisasi ilmu pengetahuan bersandarkan “prinsip
tauhid”. Hal ini dikarenakan metodologi tradisional tidak mampu memikul
tugas ini karena beberapa faktor, diantaranya:
1. Ia telah menyempitkan
konsep utama seperti fiqh, faqih, ijtihad, dan mujtahid.
2. Kaidah tradisional
memisahkan antara wahyu dan akal, yang kemudian memisahkan pemikiran dan
tindakan,
3. Kaidah ini membuka
ruang untuk dualisme sekuler dan agama.
Dalam
kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu
yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh
kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi.
Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan
umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan
dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter. Hal tersebut mengakibatkan ketidak mampu untuk menghasilkan
sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini
disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan
Islam. Gejala tersebut dirasakan
al-Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”, kehilangan yang
jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil (kurangnya visi). Dengan adanya
westernisasi, selain mengakibatkan
kurangnya visi juga mengakibatkan umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused).
Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik
dalam aspek pemikiran maupun perbuatan. Dengan adanya kondisi tersebut, al-Faraqi berfikir bahwa pengetahuan
harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan
ajaran tauhid dan ajaran Islam.
C. Langkah-langkah
Mewujudkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam pandangan
al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus
dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini
ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara
bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka,
islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran. Adapun untuk
mewujudkan islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua proses yang saling
berkaitan, yaitu sebagai berikut:
a. Mengisolir unsur-unsur
dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban barat. Maksudnya
adalah jika suatu ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan pandangan hidup islam,
maka fakta tersebut tidak menjadi benar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
·
Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan
manusia.
·
Bersikap
dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which
involved of reality and truth).
·
Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan
pandangan hidup sekuler (secular worldview).
·
Membela doktrin humanism (the doctrine of
humanism).
·
Menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
b. Memasukkan
unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan.
Konsep utama Islam tersebut yaitu:
·
Konsep Agama (ad-din),
·
Konsep Manusia (al-insan),
·
Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah),
·
Konsep kearifan (al-hikmah),
·
Konsep keadilan (al-‘adl),
·
Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal),
·
Konsep universitas (kulliyyah jami’ah
Apabila usaha tersebut
selesai dilakukan, maka islamisasi akan membebaskan manusia dari mitologi,
magic, animisme, dan tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan islam.
Islamisasi akan membebasakan akal manusia dari berbagai keraguan (syak),
prasangka (zhani), dan argumentasi kosong (mira’) menuju keyakinan akan
kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligeble, dan materi. Dan
pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur
metafisika dasar Islam yang sejalan dengan wahyu (revelation tradition),
akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).
Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan
empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang
sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi
meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam
Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara
mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Sedangkan
dalam pandangan al-Faruqi, langkah-langkah
dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dapat dilakukandengan berlandaskan
pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai
kebenarannya.
Al–Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka
pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a.
Keesaan Allah,
b.
Kesatuan
alam semesta,
c.
Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Dalam menjalankan
proses islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi menyusun program kerja yang bertitik tumpu
pada lima hal sebagai berikut: pertama, menguasai disiplin-disiplin
modern seperti prinsip,
metodologi, masalah dan perkembangannya.. Kedua, menguasai khazanah Islam: ontologi. Ketiga, menentukan relevansi Islam
yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat.
mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan
ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke
lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Menurut
al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada
akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Penguasaan terhadap
disiplin-disiplin modern: metodologi, prinsip,
masalah tema, dan perkembangannya.
2. Peninjauan
disiplin ilmu modern.
3. Penguasaan ilmu
warisan Islam (khazanah islam) yang berupa
antologi.
4. penguasaan ilmu
warisan Islam (khazanah ilmiah
islam) yang berupa
analisis.
5. Penentuan
relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
·
Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai
dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan
masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern,
·
Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan
dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut,
·
Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit
diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam,
kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga
memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6. Penilaian kritis
terhadap disiplin modern dan tingkat
perkembangannya pada masa sekarang.
7. Penilaian krisis
terhadap khazanah Islamdan tingkat
perkembangannya.
8. Survei mengenai
problem-problem yang dihadapi umat Islam.
9. Survei mengenai problem-problem
umat manusia.
10. Analisa dan
sintesis kreatif.
11. Merumuskan
kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
12. Penyebarluasan
ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
Dr. Syamsuddin Arif menguraikan lima
alasan menapa
islamisasi ilmu penegtahuan itu perlu dan penting untuk dilakukan. Adapun
beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa islamisasi ilmu pengetahuan harus
dilakuakan adalah sebgai berikut:
1.
Ilmu yang di pelajari dan diajarkan
hari ini di seluruh dunia (termasuk di negara-negara Islam) adalah ilmu yang dihasilkan dari
peradaban Barat, yaitu ilmu yang telah menyimpang dari tujuan hakikinya. Sebab ilmu pengetahuan modern tidak memberikan kedamaian dan
kebahagiaan, tetapi justru membawa kekacauan dan ketidakadilan dalam kehidupan
umat manusia.
2.
Ilmu pengetahuan modern justru
membuahkan keragu-raguan dan kekeliruan, skeptisisme dan confusion.
3.
Ilmu pengetahuan modern kini telah
menjadikan dugaan dan perkiraan sebagai ilmu dan kebenaran.
4.
Ilmu pengetahuan itu sebenarnya tidak
bebas nilai alias tidak netral, karena hakikatnya mencerminkan suatu pandangan
hidup, ideologi, atau akidah penggiatnya.
5.
Ilmu yang disajikan oleh peradaban
Barat sekarang ini telah mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil,
dilebur secara halus sehingga sulit untuk mengenali lagi mana yang benar dan
mana yang palsu.
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan
mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak,
karena terdapat sejumlah persamaan dengan Islam. Oleh sebab itu, seseorang yang
mengislamkan ilmu, perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu
mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu
memahami peradaban Barat
Berdasarkan
pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dalam
kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu, pertama,
jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al-Faruqi lebih
mengutamakan obyeknya. Kedua, jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu
kontemporer untuk program islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa
semua ilmu harus diislamisasikan. Dan ketiga, jika al-Attas mengawali
dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang
ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan
al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas
dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran
al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan
pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut
mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai
(value laden). Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh
Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini
tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid.
Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang
diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa sumber dari semua masalah
umat adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang
saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan satu
solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.
Mahasiswa
Semester Akhir Fakultas Ushuluddin prodi Aqidah Filsafat ISID Gontor &
Anggota Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS)
Definisi
lengkap tentang pandangan hidup Islam (Islamic worldview) dapat dilihat
dalam tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi
Islam dalam Islamia, majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No
5, April-Juni 2005, Hal. 11-12
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 134. Lihat juga Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (London:
Hodder & Stouhton, 1979) 19-20. Terkait dengan ilmu adalah syarat nilai (value
laden) dapat dilihat dalam bukunya Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu
Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005), p. 7, 178-179. Dan menurut Thomas
Samuel Kuhn, karena ilmu itu merupakan human and social construction
maka ilmu itu tidak bebas nilai, lihat dalam Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu;
Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Belukar, 2008, cet ke-5), p. 129
Taqiy al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyyah, Majmû’
Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah, editor ‘Abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Qasim al-’Ashimi al-Najdi al- Hanbali, Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1418 H/1997 M, jilid 6, hlm. 388.
Abdullah
Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta:
Jendela, 2003), Hal. 338
Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi
Ilmu, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), Hal.14. Tulisan ini telah dibukukan dan diterbitkan
oleh Center for Islamic & Occidental Studis (CIOS) pada tahun 2007 dengan
judul “Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu”.
Dikotomis dalam
berbagai disiplin ilmu yang terjadi saat ini tidak lain adalah pengaruh dari
adanya sekularisme.
Ismail Raji
al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute
of Islamic Thought, 1989), p. 40
Syed Muhammad
Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujat al-Siddiq of Nur al-Din
al-Raniri, Kuala Lumpur: Ministry of Education and Culture, 1986, Hal. 464-465.
Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi…, Hal. 36