This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 30 Mei 2016

Bulan Rajab



“Bulan Rajab dan Rahasia Yang Meliputinya”

Hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda: "Puasalah pada bulan-bulan haram." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'" Menurut as-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.
Rajab adalah bulan ke tujuh dari penggalan Islam qomariyah (hijriyah). Peristiwa Isra Mi’raj  Nabi Muhammad  shalallah ‘alaih wasallam  untuk menerima perintah salat lima waktu terjadi pada 27 Rajab ini. Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat  bulan haram, ketiganya secara berurutan  adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri,  Rajab. 
Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).
            Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumid-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.
Disebutkan dalam kitab Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.
Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan, telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Islamisasi Ilmu Pengetahuan



A.  Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islam sebagai agama pembawa kebenaran dan rahmatan lil ‘alamin, salah satu fungsinya adalah untuk menyelesaikan berbagai problematikan di dalam masyarakat. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin artinya agama yang menghendaki kebaikan, kedamaian, dan keselamatan bagi pemeluknya. Islam sebagai agama cinta damai yang memberikan kebaikan, memberikan solusi atas segala permasalahan di muka bumi. Islam memberikan solusi, membawa perubahan, dan menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, dalam hal ini ilmu pengetahuan sangat berperan aktif untuk mengadakan suatu perubahan yang sesuai dengan syari’at islam. Islam adalah satu-satunya agama wahyu, sudah final, autentik, dan tidak memerlukan pengembangan dari siapa pun dan dalam bentuk apapun.
Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology).[1] Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.[2] Islam mencakup semua aspek dalam kehidupan manusia terutama yang erat kaitannya dengan bidang ilmu pengetahuan. Berbicara tentang islamisasi ilmu, tentunya tidak lepas daripada adanya pandangan bahwa perkembangan ilmu telah melebihi kadar peranan akal dalam  pembentukan suatu ilmu sehingga berspekulasi terlalu jauh. Sehingga timbul upaya untuk menarik kembali ilmu sendiri yang dalam hal ini harus berlandaskan Islam.
Tokoh-tokoh islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri tentang istilah ini, sesuai latar belakang dan keahlian masing-masing.
1.      Menurut Sayed Husein Nasr, islamisasi ilmu termasuk  juga islamisasi budaya adalah upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim dimana mereka tinggal. Artinya, islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara  berpikir dan bertindak (epistemologis dan aksiologis) masyarakat Barat dengan Islam.
2.      Menurut Hanna Djumhana Bastaman, seorang pakar psikologi dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah upaya menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali Sunnatullah  (hukum alam) dengan al-Quran, yang keduanya sama-sama ayat Tuhan.
3.      Menurut Naquib al-Attas, islamisasi ilmu adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk pengetahuan baru yang sesuai fitrah Islam.
4.      Menurut Ja’far Syeikh Idris, seorang ulama’ Sudan menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah suatu usaha yang terorganisir dan perlahan-lahan yang bertanggung jawab mematuhi ajaran-ajaran agama islam baik dalam hal politik, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya dari semua aspek keidupan yang berpuncakpada realisasi masyarakat.
5.      Menurut Ziauddin Sardar, seorang doktor dalam bidang fisika menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah sebuah proses yang bertujuan untuk mengubah dan memperbaiki kajian ilmu yang bersifat radikal yang sangat membahayakan bagi masyarakat, dam psikologi manusia modern secara global.
Dalam hal ini,  Naquib berbeda dengan Nasr, islamisasi ilmu berkenaan dengan perubahan ontologis dan epistemologis, terkait dengan perubahan cara pandang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengembalikan pemikiran-pemikiran ilmu pengetahuan yang lebih mengedepankan rasio (akal) kepada ilmu pengetahuan yang berpegang teguh pada ajaran islam (al-Qur’an dan hadits). Namun, dengan pemaknaan Islamisasi ilmu sebagaimana diungkapkan para ahli di atas, akan terbesit pemikiran bahwa Islam hanya digunakan sebagai upaya alat sterilisasi terhadap  perkembangan ilmu modern. Dengan kata lain, defenisi tersebut belum mencapai substansi Islam sesungguhnya. Hal inilah menimbulkan anggapan bahwa Islam hanya lebih memilih bersikap defense (bertahan) terhadap perkembangan ilmu modern, sehingga memunculkan pula istilah “labelisasi Islam”. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam.
B.  Latar Belakang Adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).[3] Maksudnya adalah  ilmu terikat dengan nilai-nilai tertentu (value laden) yang berupa paradigma, ideologi atau pemahaman seseorang.  Pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Ibn Taimiyyah mendefinisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalîl (bukti). Dalil yang dimaksud dapat berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqaq). Sedang yang dimaksud dengan "ilmu yang bermanfaat" adalah yang bersumber dari Rasul SAW: “Sesungguhnya ilmu itu ada lah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang bisa kita katakan ilmu itu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat.[4]
Ilmu pengetahuan yang tidak netral ini sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[5] Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[6]
Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan tauhid. Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.[7]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme[8]. Sedangkan islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.[9]
Islamisasi adalah proses pembebasan manusia dari unsur mitologis, magic, animisme, dan kebudayaan dari paham-paham sekular.[10] Hal ini berarti mengacu pada pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup (gaya hidup) yang telah di lansirkan oleh manusia Barat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses pengembalian kaidah epistimologi dalam rangka membangun peradaban islam.
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.[11]
 Al-Faruqi menyebut istilah islamisasi ilmu pengetahuan dengan Islamization of Knowledge (IOK), sedangkan dalam bahasa Arab disebut Islamiyyatul Ma’rifah yang bermakna bahwa semua disiplin ilmu (baik kontemporer atau tradisi islam) harus di islamkan. Menurut al-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan adalah usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data tersebut, menilai kembali tafsiran dan kesimpulan, membentuk kembali tujuan , dan memberlakukannya sesuai dengan visi dan perjuangan islam.
Dari sudut metodologi, al-Faruqi mengemukakan ide islamisasi ilmu pengetahuan bersandarkan “prinsip tauhid”. Hal ini dikarenakan metodologi tradisional tidak mampu memikul tugas ini karena beberapa faktor, diantaranya:
1.    Ia telah menyempitkan konsep utama seperti fiqh, faqih, ijtihad, dan mujtahid.
2.    Kaidah tradisional memisahkan antara wahyu dan akal, yang kemudian memisahkan pemikiran dan tindakan,
3.    Kaidah ini membuka ruang untuk dualisme sekuler dan agama.[12]

Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter. Hal tersebut mengakibatkan ketidak mampu untuk menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam. Gejala tersebut dirasakan al-Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision, kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil (kurangnya visi).[13] Dengan adanya westernisasi, selain mengakibatkan kurangnya visi juga mengakibatkan umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan. Dengan adanya kondisi tersebut, al-Faraqi berfikir bahwa pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
C.  Langkah-langkah Mewujudkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran. Adapun untuk mewujudkan islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua proses yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:
a.       Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban barat. Maksudnya adalah jika suatu ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan pandangan hidup islam, maka fakta tersebut tidak menjadi benar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
·         Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
·          Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
·         Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
·         Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
·     Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
b.      Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Konsep utama Islam tersebut yaitu: 
·      Konsep Agama (ad-din),
·      Konsep Manusia (al-insan),
·      Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah),
·      Konsep kearifan (al-hikmah),
·      Konsep keadilan (al-‘adl),
·      Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal),
·      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah
Apabila usaha tersebut selesai dilakukan, maka islamisasi akan membebaskan manusia dari mitologi, magic, animisme, dan tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan islam. Islamisasi akan membebasakan akal manusia dari berbagai keraguan (syak), prasangka (zhani), dan argumentasi kosong (mira’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligeble, dan materi.[14] Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).[15] Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi, langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dapat dilakukandengan berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.[16] Al–Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a.    Keesaan Allah,
b.     Kesatuan alam semesta,
c.    Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Dalam menjalankan proses islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi menyusun program kerja yang bertitik tumpu pada lima hal sebagai berikut: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern seperti prinsip, metodologi, masalah dan perkembangannya.. Kedua, menguasai khazanah Islam: ontologi. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[17]
Menurut al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
1.      Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern: metodologi, prinsip, masalah tema, dan perkembangannya.
2.      Peninjauan disiplin ilmu modern.
3.      Penguasaan ilmu warisan Islam (khazanah islam) yang berupa antologi.
4.      penguasaan ilmu warisan Islam (khazanah ilmiah islam) yang berupa analisis.
5.      Penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
·      Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern,
·      Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut,
·      Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6.      Penilaian kritis terhadap disiplin modern dan tingkat perkembangannya pada masa sekarang.
7.      Penilaian krisis terhadap khazanah Islamdan tingkat perkembangannya.
8.      Survei mengenai problem-problem yang dihadapi umat Islam.
9.      Survei mengenai problem-problem umat manusia.
10.  Analisa dan sintesis kreatif.
11.  Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
12.  Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
Dr. Syamsuddin Arif menguraikan lima alasan menapa islamisasi ilmu penegtahuan itu perlu dan penting untuk dilakukan. Adapun beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa islamisasi ilmu pengetahuan harus dilakuakan adalah sebgai berikut:
1.      Ilmu yang di pelajari dan diajarkan hari ini di seluruh dunia (termasuk di negara-negara Islam) adalah ilmu yang dihasilkan dari peradaban Barat, yaitu ilmu yang telah menyimpang dari tujuan hakikinya. Sebab ilmu pengetahuan modern tidak memberikan kedamaian dan kebahagiaan, tetapi justru membawa kekacauan dan ketidakadilan dalam kehidupan umat manusia.
2.      Ilmu pengetahuan modern justru membuahkan keragu-raguan dan kekeliruan, skeptisisme dan confusion.
3.      Ilmu pengetahuan modern kini telah menjadikan dugaan dan perkiraan sebagai ilmu dan kebenaran.
4.      Ilmu pengetahuan itu sebenarnya tidak bebas nilai alias tidak netral, karena hakikatnya mencerminkan suatu pandangan hidup, ideologi, atau akidah penggiatnya.
5.      Ilmu yang disajikan oleh peradaban Barat  sekarang ini telah mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dilebur secara halus sehingga sulit untuk mengenali lagi mana yang benar dan mana yang palsu.
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak, karena terdapat sejumlah persamaan dengan Islam. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami peradaban Barat
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al-Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua, jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan. Dan ketiga, jika al-Attas mengawali dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa sumber dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.





[1] Mahasiswa Semester Akhir Fakultas Ushuluddin prodi Aqidah Filsafat ISID Gontor & Anggota Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS)
[2] Definisi lengkap tentang pandangan hidup Islam (Islamic worldview) dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia, majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005, Hal. 11-12


[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 134. Lihat juga Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (London: Hodder & Stouhton, 1979) 19-20. Terkait dengan ilmu adalah syarat nilai (value laden) dapat dilihat dalam bukunya Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005), p. 7, 178-179. Dan menurut Thomas Samuel Kuhn, karena ilmu itu merupakan human and social construction maka ilmu itu tidak bebas nilai, lihat dalam Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008, cet ke-5), p. 129

[4] Taqiy al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyyah, Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah, editor ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-’Ashimi al-Najdi al- Hanbali, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1418 H/1997 M, jilid 6, hlm. 388.
[5] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), Hal. 338
[6] al-Attas, Islam dan Sekularisme, Hal. 197-198
[7] Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), Hal.14. Tulisan ini telah dibukukan dan diterbitkan oleh Center for Islamic & Occidental Studis (CIOS) pada tahun 2007 dengan judul “Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu”.
[8] Dikotomis dalam berbagai disiplin ilmu yang terjadi saat ini tidak lain adalah pengaruh dari adanya sekularisme.

[9] al-Attas membedakan konsep sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi adalah suatu proses yang berkelanjutan dan terbuka di mana pandangan dunia (worldview) secara terus menerus di perbaharui sesuai dengan revolusi sejarah, sedangkan sekularisme memproyeksikan suatu pandangan dunia (worldview)  yang tertutup dan seperangkat nilai yang mutlak, sejalan dengan tujuan akhir sejarah yang bermakna final bagi manusia. al-Attas, Islam dan Sekularisme…, Hal. 21-22
[10] Adian Husaini., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, Hal. 247-248.
[11] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989), p. 40


[12] Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu, Hal. 36.
[13] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, Hal. 8-9
[14] Wan Daud, The Educational Philoshophy, Hal. 312.
[15] Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, Kuala Lumpur: Ministry of Education and Culture, 1986,  Hal. 464-465.

[16] Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi…, Hal. 36

[17] Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Hal. 98.