Jumat, 29 April 2016

Manusia: al-Basyar, al-Insan, dan an-Nas



Tugas              : Aplikasi Komputer
Hari/tanggal   : Kamis, 17 Maret 2016
Dosen              : Agus Faisal Asyha, M.Pd.I

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbu manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual.
Secara etimologi, menurut Raghib Ashfahaniy akal memiliki arti al-Imsak (menahan), ar-Ribath (ikatan), al-Hajr (menahan), an-Nahi (malarang), dan al-Man’u (mencegah). Sedangkan secara terminologi, akal adalah segala potensi yang ada pada diri manusia yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, mampu menahan dan mengikat hawa nafsu. Akal memiliki dua makna yaitu : 1) Akal jasmani, salah satu oragan tubuh yang lazim disebut dengan otak. 2) akal ruhani, cahaya nurani yang dipersiapkan oleh Allah SWT yang berpotensi untuk memperoleh pengetahuan dan kognisi melalui proses membaca dan berfikir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akal merupakan daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia.
Selain akal manusia juga dibekali akan qalb (hati), secara bahasa qalb berarti bolak-balik, dan ini menjadi karakteristik dari hati itu sendiri yang memiliki sifat tidak konsisten dan perlu adanya pengelolahan tersendiri dengan bantuan nur ilahi. Al-Ghazali melihat pengertian qalb dari dua aspek, yaitu aspek jasmani dan aspek ruhani. Qalb jasmani adalah organ tubuh yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan qalb ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus, ruhaniah, dan ketuhanan juga memiliki potensi afektif, iman, dzikir, taqwa.
Al-qur’an menggunakan term qalb dan fu’ad untuk menyebut hati manusia ketika dalam keadaan ketentraman dan keyakinan. Sedangkan penggunaan kata shadr yang berarti dada atau depan untuk menyebutkan keadaan suasana hati dan jiwa sebagai satu kesatuan psikologis dalam kondisi yang lapang dan tak terbebani maupun sempit dan sedih. Tetapi al-Qur’an menggunakan term qalb untuk menyebutkan akal ketika qalb fi shadr dalam keadaan buta yang tidak mampu memahami realitas dan nilai kehidupan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.
Di dalam al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun mengacu pada makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga istilah kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas.
1)      Basyar
Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf ayat 31

فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيم

 “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya) dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. (Q.S.Yusuf : 31)
Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain juga manusia disebut dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak. Allah SWT berfirman dalam surat maryam ali Imran ayat 47

قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر

 “Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah disentuh manusia (basyar)”. (Q.S.Ali Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja. Yakni  sebagai manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan melakukan aktifitas lainnya. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata umatnya. Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah SAW untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya. Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَي

 “Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu”.  (Q.S.Al-Kahfi : 110)

Beberapa ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk atau postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar, dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya. Fitrah manusia memang bergerak dan dinamis untuk memenuhi aspek-aspek kebutuhan biologis ini Allah SWT memberikan aturan syariah yang benar agar manusia senantiasa mendapat ridha Allah dan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

2.      Al-Insan
Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun spiritual. Keistimewaan  itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Kategori pertama dapat difahami melalui empat penjelasan sebagai berikut :
1.      Manusia dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.
2.       Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah, suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui nama-nama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan menurut Thabathaba’i amanah dimaknai sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secara metaforis perjanjian itu digambarkan dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”. (Q.S.al-A’raf : 172)
3.      Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan  kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya. Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al-insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik karena setiap amal perbuatannya dicatat dengan cermat dan mendapat balasan setimpal. Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan dan ditentukan nasibnya di hari kiamat.
4.      Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik.

Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat.
Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat al-ruh.
3.      An-Nas
Konsep an-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak 240 kali. Salah satunya adalah :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

“Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”. (Q.S.al-Hujurat : 13)
Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, al-Quran tidak pernah melakukan generalisasi, melainkan ditunjukkan dengan dua model pengungkapan :
  1. Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman, ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah. Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia, berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah, yang menyembah Allah dengan iman yang lemah.
  2. Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah.
Demikian banyaknya penyebutan kata al-nas dalam al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai petunjuk – menunjukkan bahwa sebagian besar bimbingan Tuhan  diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan tidak mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua manusia betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu untuk diatur Tuhan adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak, kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan yang terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan dan masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena pada aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali. 


8 komentar:

  1. Kalau umruun terus rojulun dan annas

    BalasHapus
  2. Dan pada diri kita, bisa belajar dimana diri kita d ciptakan dan dmna dri kita harus menghambah Allah sabagai mahluk dan ciptaaanya

    BalasHapus
  3. ما شاء الله.
    alangkah hebatnya bahasa alquran.

    BalasHapus
  4. Bagaimana dgn kata insan dlm surat al asr...seluruh insan dalam kerugian

    BalasHapus