Ma’had al-Jami’ah, Minggu, 21 Mei 2016
“Makna dan Hukum Tawasul”
Dalam menitih jalan kehidupan, mengarungi
lika-liku zaman, melewati berbagai rintangan, dan menciptakan solusi masalah
yang silih berganti menghadang memanglah tidak mudah. Semua butuh kerja keras,
semua butuh usaha, dan semua butuh pengorbanan dan perjuangan yang tak ternilai
harganya. Allah Swt. Adalah Dzat Yang Maha Meudahkan segala urusan, Allah tidak
akan memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan makhluk-Nya, Allah
ciptakan semua sebagai sarana kita untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya.
Allah ciptakan seorang makhluk yang mulia, pembawa kebenaran nan nyata,
penengah permasalahan yang kian berkecamuk jua, Beliau Rasulullah Muhammad Saw.
Beliaulah satu-satunya nabi yang dapat menolong kita di akhirat kelak dengan
syafaatnya. Cinta kepada beliau, taat kepada beliau, ingat kepada beliau adalah
kuncinya.
Untuk menjadi calon
umat yang kelak mendapatkan syafaatnya tak semudah membalikkan talapak tangan
saja. Butuh perjuangan yang nyata untuk mendapatkannya, butuh keikhlasan yang
tak terkira untuk mencintainya salah satunya adalah dengan berwasilah kepada
beliau. Berwasilah kepada beliau adalah salah satu jalan untuk mendapatkan
ridho-Nya.
Kita ingin menjadi
hamba yang diakui oleh-Nya, kita ingin menjadi hamba yang paling bertaqwa
kepada-Nya, kita ingin menjadi yang teristimewa di hadapan-Nya. Salah satucara
untuk menjadi hamba yang teristimawa di hadapan-Nya dengan mencintai
kakasih-Nya, berada dalam naungan ajaran kekasih-Nya, berada dalam bimbingan
kekasih-Nya. Salah satu cara untuk diakui sabagai umatnya dengan berwasilah
kepada beliau (tawasul).
Arti Tawasul adalah mendekatkan diri
atau memohon kepada Allah SWT dengan melalui wasilah (perantara) yang memiliki
kedudukan baik di sisi Allah SWT. Wasilah yang digunakan bisa berupa nama dan sifat Allah SWT,
amal shaleh yang kita lakukan, dzat serta kedudukan para nabi dan orang shaleh,
atau bisa juga dengan meminta doa kepada hamba-Nya yang sholeh. Allah SWT
berfirman :
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَة
“Dan carilah jalan yang mendekatkan
diri ( Wasilah ) kepada-Nya”. (Q.S. Al-Maidah :35)
Menurut
jumhur Ahlus Sunnah Wal-Jamaah, tawasul dengan segala ragamnya adalah perbuatan
yang dibolehkan atau dianjurkan. Kebolehan tawasul dengan nama dan sifat Allah
SWT, amal shaleh dan meminta doa dari orang sholeh telah disepakati, bahkan
oleh kelompok yang keras sikapnya terhadap tawasul ini, sehingga perlu di
paparkan dalil-dalil dan penjelasan terhadap hukum kebolehan untuk bertawasul.
Bertawasul dengan nabi dan orang-orang shaleh kerap menjadi permasalahan.
Contoh sederhana tawasul jenis ini adalah ketika seseorang mengharapkan ampunan
Allah SWT. Misalnya ia berdoa, “ Ya Allah, aku memohon ampunanmu dengan
perantara nabi-Mu atau Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.” Terlihat
jelas dalam bertawasul, nabi atau orang sholeh hanyalah perantara, sedangkan
yang dituju dengan do’a hanyalah Allah SWT semata. Dengan tawasul, ia tidak
menjadikan nabi dan orang shaleh tersebut sebagai tuhan yang disembah.
Menurut Imam as-Subki dan Ibnu Taimiyah beliau
berpendapat tentang hukum tawasul . Kebolehan bertawasul dengan Nabi
diperkuat dengan kesepakatan para ulama salaf dan kholaf. Imam as-Subki
mengatakan: “Bertawasul, meminta pertolongan dan meminta syafaat dengan
perantara Nabi kepada Allah adalah baik. Tidak ada seorangpun dari kaum salaf
dan kholaf yang mengingkari hal ini sampai datang Ibnu Taimiyah. Ia mengingkari
hal ini dan melenceng dari jalur yang lurus, memunculkan ide baru yang tidak
pernah dikatakan oleh ulama sebelumnya sehingga terjadilah keretakan dalam
islam”.
Dalam
ucapannya, Imam as-Subki menegaskan bahwa kebolehan bertawasul dengan Nabi
disepakati sampai datang Ibnu Taimiyah. Namun faktanya, Ibnu Taimiyah sendiri
sebenarnya tidak mengingkari kebolehan bertawasul kepada Nabi. Namun yang
beliau ingkari adalah istighosah (meminta pertolongan) kepada Nabi SAW, bukan
Tawasul.
Ibnu
Katsir salah satu murid Ibnu Taimiyah menceritakan mengenai tuduhan yang
ditujukan kepada Ibnu Taimiyah: “Kemudian Ibnu Atho’ menuduhnya (Ibnu Tiaimyah)
dengan banyak tuduhan yang tidak bisa dibuktikan satu pun. Beliau (Ibnu
Taimiyah) berkata, “Tidak boleh beristighosah selain kepada Allah, tidak
boleh beristighosah kepada Nabi dengan istighosah yang bermakna ibadah. Namun
boleh bertawasul dan meminta syafaat dengan perantara Beliau (Nabi SAW) kepada
Allah.” Maka sebagian orang menyaksikan menyatakan, ia tidak memiliki
kesalahan dalam masalah ini.” (Bidayah Wa Nihayah juz 14 hal 51).
Menurut
keterangan di Al Quran dan Hadis, terdapat beberapa perkara yang dapat
dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam
tawasul, yaitu sebagai berikut:
- Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang Agung,
- Tawassul melalui amal soleh,
- Tawassul melalui do'a Rasul,
- Tawassul melalui do'a saudara mukmin,
- Tawassul melalui diri para Nabi dan hamba shaleh,
- Tawassul melalui kedudukan dan keagungan hamba sholeh,
- Tawassul melalui orang yang sudah wafat,
- Tawassul melalui orang yang belum lahir.
1. Tawasul dengan nama Allah
Allah
Swt berfirman, “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan”. (Q.S. al-A'raf: 180)
2. Tawasul melalui amal soleh
Allah Swt.
dalam al-Qur'an berfirman: “Dan (ingat- lah), ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo'a): “Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat
ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S.
al-Baqarah: 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan
antara Amal Sholeh (pembangunan Ka'bah) dengan keinginan atau permohonan
Ibrahim al-Khalil agar Allah Swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai
muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.
3. Tawasul melalui do'a Rasul
Tentang
keagungan nama Rasulullah, Allah swt. berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara
kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).
Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di
antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. (Q.S. an-Nur: 63)
Hadirnya Rasulullah menghindarkan manusia dari
azab/siksaan. Allah swt. berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyiksa/mengadzab mereka, sedang kamu
(Rasulullah) berada diantara mereka. dan tidaklah (pula)
Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun”. (Q.S.
al-Anfal: 33)
Allah swt. menyandingkan nama-Nya dengan nama
Rasulullah saw. “Mereka
(orang-orang munafik) mengemukakan udzurnya kepadamu, apabila kamu telah
kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: “Janganlah kamu
mengemukakan uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya
Allah telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya dan Allah
serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu
dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia
memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. at-Taubah: 94)
Allah menjadikan Rasulullah sebagai jalan untuk
mendapatkan pengampunan. Allah swt. berfirman:
“Dan kami
tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. an-Nisa': 64)
Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti
firman Allah swt. “Dan
apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah
memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat
mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri”. (Q.S. al-Munafiqqun: 5)
4. Tawasul melalui doa orang Mukmin
Dalam al-Qur'an, Allah swt berfirman: “Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo'a:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami , dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman'; “Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S. al-Hasyr: 10)
Dalam ayat ini ditunjukkan tentang berdoa minta
ampun untuk diri dengan cara mendoakan orang-orang terdahulu. Artinya
orang-orang terdahulu tersebut dijadikan sarana wasilah.
5. Tawasul melalui Nabi dan Hamba soleh
Ada hamba-hamba Allah yang namanya telah
ditinggikan . Allah swt.. berfirman: “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS
al-Insyirah: 4)
Orang-orang semacam itu (manusia Sholeh
pengikut sejati Rasulullah), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di
sisi Allah, maka Allah swt. memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya
untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Allah
swt.. berfirman: “(yaitu) Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S.
al-A'raf: 157)
Jika kunci terkabulnya do'a terdapat pada
kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah Swt. yang
dimiliki oleh setiap manusia Sholeh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika
mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa
untuk mendapat keridhoaan Allah. Sebagai- mana do'a mereka pun selalu didengar dan
dikabulkan oleh Allah Swt.
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan
menjadikan do'a orang-orang yang sholeh
sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah, maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (
dzat atau syakhsyiyah
) dan kedudukan ( jah atau maqom atau manzilah atau karamah atau fadhilah ) orang-orang yang sholeh tadi pun lebih utama untuk
diperbolehkan. Karena antara sarana pengkabulan do'a' dan sarana kedudukan atau kepribadian agung orang-orang yang sholeh
terdapat relasi (hubungan) erat dan menjadi konsekuensi logis, nyata dan
sah (syar'i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang
memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena,
pengkabulan do'a orang-orang yang sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena
kepribadiannya yang luhur , dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan
kedudukan mereka diangkat oleh Allah Swt.
6. Tawassul melalui kedudukan dan keagungan hamba soleh
Disamping yang telah kita singgung pada bagian
sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum
muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan
ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari'at yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para orang-orang yang sholeh,
dimana diyakini bahwa orang-orang sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di
sisi Allah Swt.
Orang-orang sholeh yang dimaksud disini adalah
sebagaimana apa yang di kemukakan oleh Rasulallah saw. kepada Muadz bin Jabal
ra ini, Rasulallah bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah
hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah bersabda:
“Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun”. Agak beberapa lama,
kembali Rasulallah bersabda: “Wahai Muadz !' aku (Muadz) menjawab: “Ya wahai
Rasulallah”. Rasulallah bertanya: “Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba
ketika telah melakukan hal tadi?”. aku (Muadz) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui”. Rasulallah bersabda: “Ia tiada akan mengadzabnya”. ( Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari
an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).
Hadits diatas jelas bahwa maksud dari Sholeh
adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan
tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah Swt. Dan dikarenakan tawassul
(mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah karena dilegalkan oleh
Allah swt. maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh pula,
jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan
(penyekutuan Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam
al-Qur'an sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di
tengah-tengah manusia.
Allah swt.. berfirman: “Dan
apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?
Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah
mereka kerjakan”. (Q.S. al-An'am: 122).
Atau sebagaimana dalam firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman (kepada para
rasul), bertakwalah kepada Allah dan ber- imanlah kepada Rasul-Nya, niscaya
Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya
yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah
Maha Peng- ampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hadid: 28).
Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi
dan kekhususan cahaya adalah; ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain.
Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa pancaran
Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur'an telah
menunjukkan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba
Allah seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf (anak-anak
Ya'qub) telah melakukan tawassul. Dan al-Qur'an pun telah dengan jelas
memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan
hanya sebatas berkaitan dengan do'a para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan
pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi
para kekasih Ilahi dengan bacaan do'a mereka tidak dapat di pisahkan dan
terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat.
7. Tawassul melalui orang yang sudah wafat
Rasulullah bertawasul kepada nabi-nabi yang
sudah wafat sebelum beliau: "Dan sahabat Nabi Anas bin Malik,
bahwasanya Nabi Muhammad Saw. berkata dalam do'a beliau begini : Ya Allah,
ampunilah Fatimah binti Asad dan lempangkanlah tempat masuknya (ke kubur)
dengan hak Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum saya. Engkau yang paling panjang
dari sekalian yang panjang". (Hadits riwayat Imam Thabrani - lihat kitab
Syawahidul haq hal. 154).
8. Tawassul melalui orang yang belum lahir
Ada beberapa ayat Al Quran dan hadis yang
menyebutkan adanya tawasul kepada orang yang belum lahir.
a.
Tawasul Nabi Adam a.s kepada Rasulullah Saw.
"Berkata
Rasulullah Saw. : Pada ketika telah membuat kesalahan Nabi Adam, ia bertaubat
dan berkata : Hai Tuhan, saya mohon kepada-Mu dengan hak Muhammad supaya Kamu
ampuni saya”.
Nabi Adam a.s sudah bertaubat dengan bertawasul
dengan nabi Muhammad s.a.w, padahal nabi Muhammad s.a.w belum lahir ke dunia.
b.
Tawasul orang Yahudi kepada Rasulullah
“Dan
setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada
pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk
mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.
Dalam ayat tersebut dikemukakan bahwa orang
Yahudi sudah bertawasul dengan seorang nabi yang akan muncul, yang kemudian
ternyata nabi itu adalah nabi Muhammad s.a.w. Dalam ayat tersebut terdapat
kritikan bahwa setelah nabi tersebut datang, orang Yahudi malah ingkar dengan
nabi tersebut (Muhammad s.a.w). Amalan tawasul orang Yahudi itu sendiri tidak
dianggap perbuatan keliru.
Wa Allahu a’lam bi
as-sawwab.
Allah Swt Adalah Dzat Yang Maha Meudahkan segala urusan, Allah tidak akan memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan makhluk-Nya, Allah ciptakan semua sebagai sarana kita untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya. Semoga bagi yang membaca artikel ini diberikan hidayah
BalasHapussilahkan kunjungi = https://www.ittelkom-sby.ac.id/