Minggu, 22 Mei 2016

makna dan hukum tawasul



Ma’had al-Jami’ah, Minggu, 21 Mei 2016
“Makna dan Hukum Tawasul”
          Dalam menitih jalan kehidupan, mengarungi lika-liku zaman, melewati berbagai rintangan, dan menciptakan solusi masalah yang silih berganti menghadang memanglah tidak mudah. Semua butuh kerja keras, semua butuh usaha, dan semua butuh pengorbanan dan perjuangan yang tak ternilai harganya. Allah Swt. Adalah Dzat Yang Maha Meudahkan segala urusan, Allah tidak akan memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan makhluk-Nya, Allah ciptakan semua sebagai sarana kita untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya. Allah ciptakan seorang makhluk yang mulia, pembawa kebenaran nan nyata, penengah permasalahan yang kian berkecamuk jua, Beliau Rasulullah Muhammad Saw. Beliaulah satu-satunya nabi yang dapat menolong kita di akhirat kelak dengan syafaatnya. Cinta kepada beliau, taat kepada beliau, ingat kepada beliau adalah kuncinya.
            Untuk menjadi calon umat yang kelak mendapatkan syafaatnya tak semudah membalikkan talapak tangan saja. Butuh perjuangan yang nyata untuk mendapatkannya, butuh keikhlasan yang tak terkira untuk mencintainya salah satunya adalah dengan berwasilah kepada beliau. Berwasilah kepada beliau adalah salah satu jalan untuk mendapatkan ridho-Nya.
            Kita ingin menjadi hamba yang diakui oleh-Nya, kita ingin menjadi hamba yang paling bertaqwa kepada-Nya, kita ingin menjadi yang teristimewa di hadapan-Nya. Salah satucara untuk menjadi hamba yang teristimawa di hadapan-Nya dengan mencintai kakasih-Nya, berada dalam naungan ajaran kekasih-Nya, berada dalam bimbingan kekasih-Nya. Salah satu cara untuk diakui sabagai umatnya dengan berwasilah kepada beliau (tawasul).
            Arti Tawasul adalah mendekatkan diri atau memohon kepada Allah SWT dengan melalui wasilah (perantara) yang memiliki kedudukan baik di sisi Allah SWT. Wasilah yang digunakan bisa berupa nama dan sifat Allah SWT, amal shaleh yang kita lakukan, dzat serta kedudukan para nabi dan orang shaleh, atau bisa juga dengan meminta doa kepada hamba-Nya yang sholeh. Allah SWT berfirman :
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَة
“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri ( Wasilah ) kepada-Nya”. (Q.S. Al-Maidah :35)
 
Menurut jumhur Ahlus Sunnah Wal-Jamaah, tawasul dengan segala ragamnya adalah perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan. Kebolehan tawasul dengan nama dan sifat Allah SWT, amal shaleh dan meminta doa dari orang sholeh telah disepakati, bahkan oleh kelompok yang keras sikapnya terhadap tawasul ini, sehingga perlu di paparkan dalil-dalil dan penjelasan terhadap hukum kebolehan untuk bertawasul. Bertawasul dengan nabi dan orang-orang shaleh kerap menjadi permasalahan. Contoh sederhana tawasul jenis ini adalah ketika seseorang mengharapkan ampunan Allah SWT. Misalnya ia berdoa, “ Ya Allah, aku memohon ampunanmu dengan perantara nabi-Mu atau Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.” Terlihat jelas dalam bertawasul, nabi atau orang sholeh hanyalah perantara, sedangkan yang dituju dengan do’a hanyalah Allah SWT semata. Dengan tawasul, ia tidak menjadikan nabi dan orang shaleh tersebut sebagai tuhan yang disembah.
Menurut Imam as-Subki dan Ibnu Taimiyah beliau berpendapat tentang hukum tawasul . Kebolehan bertawasul dengan Nabi diperkuat dengan kesepakatan para ulama salaf dan kholaf. Imam as-Subki mengatakan: “Bertawasul, meminta pertolongan dan meminta syafaat dengan perantara Nabi kepada Allah adalah baik. Tidak ada seorangpun dari kaum salaf dan kholaf yang mengingkari hal ini sampai datang Ibnu Taimiyah. Ia mengingkari hal ini dan melenceng dari jalur yang lurus, memunculkan ide baru yang tidak pernah dikatakan oleh ulama sebelumnya sehingga terjadilah keretakan dalam islam”.
Dalam ucapannya, Imam as-Subki menegaskan bahwa kebolehan bertawasul dengan Nabi disepakati sampai datang Ibnu Taimiyah. Namun faktanya, Ibnu Taimiyah sendiri sebenarnya tidak mengingkari kebolehan bertawasul kepada Nabi. Namun yang beliau ingkari adalah istighosah (meminta pertolongan) kepada Nabi SAW, bukan Tawasul.
Ibnu Katsir salah satu murid Ibnu Taimiyah menceritakan mengenai tuduhan yang ditujukan kepada Ibnu Taimiyah: “Kemudian Ibnu Atho’ menuduhnya (Ibnu Tiaimyah) dengan banyak tuduhan yang tidak bisa dibuktikan satu pun. Beliau (Ibnu Taimiyah) berkata, “Tidak boleh beristighosah selain kepada Allah, tidak boleh beristighosah kepada Nabi dengan istighosah yang bermakna ibadah. Namun boleh bertawasul dan meminta syafaat dengan perantara Beliau (Nabi SAW) kepada Allah.” Maka sebagian orang menyaksikan menyatakan, ia tidak memiliki kesalahan dalam masalah ini.” (Bidayah Wa Nihayah juz 14 hal 51).
Menurut keterangan di Al Quran dan Hadis, terdapat beberapa perkara yang dapat dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam tawasul, yaitu sebagai berikut:
  • Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang Agung,
  • Tawassul melalui amal soleh,
  • Tawassul melalui do'a Rasul,
  • Tawassul melalui do'a saudara mukmin,
  • Tawassul melalui diri para Nabi dan hamba shaleh,
  • Tawassul melalui kedudukan dan keagungan hamba sholeh,
  • Tawassul melalui orang yang sudah wafat,
  • Tawassul melalui orang yang belum lahir.

1.    Tawasul dengan nama Allah

Allah Swt berfirman, “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. al-A'raf: 180)

2.    Tawasul melalui amal soleh

Allah Swt. dalam al-Qur'an berfirman: “Dan (ingat- lah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo'a): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.  (Q.S. al-Baqarah: 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Sholeh (pembangunan Ka'bah) dengan keinginan atau permohonan Ibrahim al-Khalil agar Allah Swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.

3.    Tawasul melalui do'a Rasul

Tentang keagungan nama Rasulullah, Allah swt. berfirman: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. (Q.S. an-Nur: 63)
Hadirnya Rasulullah menghindarkan manusia dari azab/siksaan. Allah swt. berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa/mengadzab mereka, sedang kamu (Rasulullah) berada diantara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun”. (Q.S. al-Anfal: 33)
Allah swt. menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah saw. “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: “Janganlah kamu mengemukakan uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. at-Taubah: 94)
Allah menjadikan Rasulullah sebagai jalan untuk mendapatkan pengampunan. Allah swt. berfirman: Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. an-Nisa': 64)
Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah swt.Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri”. (Q.S. al-Munafiqqun: 5)

4.    Tawasul melalui doa orang Mukmin

Dalam al-Qur'an, Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo'a: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami , dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman'; “Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hasyr: 10)
Dalam ayat ini ditunjukkan tentang berdoa minta ampun untuk diri dengan cara mendoakan orang-orang terdahulu. Artinya orang-orang terdahulu tersebut dijadikan sarana wasilah.

5.    Tawasul melalui Nabi dan Hamba soleh

Ada hamba-hamba Allah yang namanya telah ditinggikan . Allah swt.. berfirman: “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS al-Insyirah: 4)
Orang-orang semacam itu (manusia Sholeh pengikut sejati Rasulullah), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah swt. memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Allah swt.. berfirman: “(yaitu) Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. al-A'raf: 157)
Jika kunci terkabulnya do'a terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah Swt. yang dimiliki oleh setiap manusia Sholeh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan Allah. Sebagai- mana do'a mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah Swt.
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan do'a orang-orang yang sholeh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah, maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian ( dzat atau syakhsyiyah ) dan kedudukan ( jah atau maqom atau manzilah atau  karamah atau fadhilah ) orang-orang yang sholeh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara sarana pengkabulan do'a' dan sarana kedudukan atau kepribadian agung orang-orang yang  sholeh terdapat relasi (hubungan) erat dan menjadi konsekuensi logis, nyata dan sah (syar'i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do'a orang-orang yang sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur , dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah Swt.

6.    Tawassul melalui kedudukan dan keagungan hamba soleh

Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari'at yang dibawa oleh Rasulullah saw. Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para orang-orang yang sholeh, dimana diyakini bahwa orang-orang sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Swt.
Orang-orang sholeh yang dimaksud disini adalah sebagaimana apa yang di kemukakan oleh Rasulallah saw. kepada Muadz bin Jabal ra ini, Rasulallah bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun”. Agak beberapa lama, kembali Rasulallah bersabda: “Wahai Muadz !' aku (Muadz) menjawab: “Ya wahai Rasulallah”. Rasulallah bertanya: “Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?”. aku (Muadz) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulallah bersabda: “Ia tiada akan mengadzabnya. ( Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).
Hadits diatas jelas bahwa maksud dari Sholeh adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah Swt. Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah karena dilegalkan oleh Allah swt. maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Qur'an sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah manusia.
Allah swt.. berfirman: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”.  (Q.S. al-An'am: 122).
Atau sebagaimana dalam firman Allah swt.Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan ber- imanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Peng- ampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hadid: 28).
Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain. Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa pancaran Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur'an telah menunjukkan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba Allah seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf (anak-anak Ya'qub) telah melakukan tawassul. Dan al-Qur'an pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan do'a para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan do'a mereka tidak dapat di pisahkan dan terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat.

7.    Tawassul melalui orang yang sudah wafat

Rasulullah bertawasul kepada nabi-nabi yang sudah wafat sebelum beliau: "Dan sahabat Nabi Anas bin Malik, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. berkata dalam do'a beliau begini : Ya Allah, ampunilah Fatimah binti Asad dan lempangkanlah tempat masuknya (ke kubur) dengan hak Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum saya. Engkau yang paling panjang dari sekalian yang panjang". (Hadits riwayat Imam Thabrani - lihat kitab Syawahidul haq hal. 154).

8.    Tawassul melalui orang yang belum lahir

Ada beberapa ayat Al Quran dan hadis yang menyebutkan adanya tawasul kepada orang yang belum lahir.
a.    Tawasul Nabi Adam a.s kepada Rasulullah Saw.
"Berkata Rasulullah Saw. : Pada ketika telah membuat kesalahan Nabi Adam, ia bertaubat dan berkata : Hai Tuhan, saya mohon kepada-Mu dengan hak Muhammad supaya Kamu ampuni saya.
Nabi Adam a.s sudah bertaubat dengan bertawasul dengan nabi Muhammad s.a.w, padahal nabi Muhammad s.a.w belum lahir ke dunia.
b.    Tawasul orang Yahudi kepada Rasulullah
Disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 89 :
Description: http://hikmah.web.id/alquran-digital/img/s002/a089.png
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.
Dalam ayat tersebut dikemukakan bahwa orang Yahudi sudah bertawasul dengan seorang nabi yang akan muncul, yang kemudian ternyata nabi itu adalah nabi Muhammad s.a.w. Dalam ayat tersebut terdapat kritikan bahwa setelah nabi tersebut datang, orang Yahudi malah ingkar dengan nabi tersebut (Muhammad s.a.w). Amalan tawasul orang Yahudi itu sendiri tidak dianggap perbuatan keliru.
Wa Allahu a’lam bi as-sawwab.

1 komentar:

  1. Allah Swt Adalah Dzat Yang Maha Meudahkan segala urusan, Allah tidak akan memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan makhluk-Nya, Allah ciptakan semua sebagai sarana kita untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya. Semoga bagi yang membaca artikel ini diberikan hidayah

    silahkan kunjungi = https://www.ittelkom-sby.ac.id/

    BalasHapus