Ma’had al-Jami’ah, Minggu, 22 Mei 2016
Makna dan Hukum Tawasul
Menurut Pandangan Nahdlatul Ulama’
Tawasul adalah berdoa kepada Allah
dengan melalui wasilah (perantara). Dalam arti lain tawasul merupakan
sesuatu yang dijadikan perantara untuk mendekatkan diri (tawajjuh) kepada Allah
swt guna mencapai sesuatu yang diarapkan dari-Nya.
Bagi warga NU berdoa dengan cara bertawasul (melalui perantara) bukan lagi hal yang
dianggap aneh. Sementara kaum Muhammadiyah tidak sependapat dengan cara berdoa
dengan bertawasul.
Berdoa dengan wasilah itu sendiri ada beberapa macam, antara lain bertawasul dengan amal
sholih, dengan asma’ul husna, orang
sholih yang masih hidup, dan bertawasul dengan Nabi dan wali yang sudah
meninggal.
Bagi
warga NU bertawasul dengan hal-hal di atas, termasuk dengan Nabi dan wali yang
sudah meninggal hukumnya adalah sunnah. Sementara bagi Muhammadiyah, bertawasul
yang dibolehkan hanyalah tawasul dengan dengan asma’ul husna, orang sholih yang
masih hidup, sementara tawasul dengan orang yang sudah meninggal tidak boleh
dilakukan, bahasa ekstrimnya adalah haram, karena bisa mengarah kepada
perbuatan syirik.
Muhammadiyah tidak secara khusus
membahas masalah tawasul dalam HPT. Dalam HPT hanya terdapat tuntunan cara
berdoa, dan tuntunan ziarah kubur yang bisa dijadikan rujukan, bagaimana
Muhammadiyah menolak berdoa dengan menggunakan wasilah orang sholih yang sudah
meninggal. Sementara itu, dalam sebuah situs resmi
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, terdapat pula artikel
tanya jawab masalah agama yang mengupas pendapat yang tidak membenarkan
tawasul.
Lebih jauh tentang tawasul, marilah
kita simak pendapat serta dasar-dasar mensunahkan dan melarang bertawasul dari
NU dan Muhammadiyah. Mungkin lebih tepat jika mulai dari pendapat yang
mensunnahkan, baru setelah itu menuju ke pendapat yang menolak dan melarang.
1. Nahdhatul Ulama
KH.
A. Nuril Huda, yang pernah menjabat sebagai Ketua PP Lembaga Dakwah
Nahdlatul Ulama (LDNU), dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tawassul
adalah mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan
mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah
ayat 35, Allah berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. al-Maidah: 35)
Dalam buku Antologi NU diterangkan
bahwa, bertawasul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Melalui tindakan (iman dan
amal sholeh). Ulama madzhab Hambali menyebtukan bahwa bertawasul dengan iman,
ketaatan dan amal saleh, merupakan salah satu bentuk bertawasul dengan shiratal
mustaqim, yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt dengan apa yang dibuat oleh
Nabi Muhammad saw.
2. Melalui doa. Antara lain dengan
menyebut amal saleh yang pernah dilakukan. Tujuannya berwasilah dalam berdoa
agar doa yang disampaiakan itu diterima oleh Allah swt. Juhur ulama menyepakati cara tersebut
sebagaimana hadist diriwayatkan bukhari dan Muslim tentang tiga orang yang terkurung
di dalam goa. Untuk bisa keluar dari goa mereka berdoa sambil bertawasul dengan
amal yang pernah diperbuatnya.
3. Malaui dzat, sifat-sifat dan nama-nama Allah swt.
(asmaul Husna). Sebagaimana firman Allah: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf: 180)
4. Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di
akhirat nanti. Ulama ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin
akan mendapat syafaat dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan dosa
besar.
5. Melalui panggilan. Tawasul
dalam bentuk ini dilakukan dengan cara memanggil orang yang paling dicintai.
Menurut Sayid Muhammadi Malik al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh.
Berdsarkan beberapa riwayat, antara lain: “Mujahid meriwayatkan bahwa dia
melihat seseorang sakit kakinya di dekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata:
“Sebutlah nama seseorang yang engkau cintai”. Orang sakit tersebut lantas
menyebut nama Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya
sembuh.
Dalam keterangan lain, disebutkan
bahwa bertawasul juga bisa dilakukan dengan orang yang sudah meninggal.
Orang yang sudah meninggal yang dijadikan wasilah
biasanya adalah para Nabi, wali, dan orang-orang yang dipercaya kesalehannya.
Kaum NU sering melakukan tawasul dengan berziarah ke makam-makam para wali.
Dalil dibolehkannya bertawasul
dengan orang yang sudah meninggal adalah firman Allah surat an-Nisa ayat 64: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS.An-Nisa’
:64).
Sebagaimana tersebut
dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin (PCNU Kota Malang), bahwa ayat di atas adalah
bersifat umum ('amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat
dan berpindahnya ke alam barzah.
Imam Ibnu Al-Qoyyim
dalam kitab Zadul Ma'ad menyebutkan: "Dari Abu Sa'id al-Khudry,
ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: "Seseorang dari rumahnya hendak
sholat dan membaca do'a: Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar
memohonkan ampun untuk orang tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai
sholat”. (HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi,
Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah
ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:
Para ulama; berkata, "Ini adalah tawasul yang
jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah
mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini. Dan semua orang
salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pergi
sholat."
Abu Nu'aimah dalam kitab
al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits: “Dari Anas bin
Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda
Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesunnguhnya Nabi SAW berbaring diatas
kuburannya dan bersabda: “Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan.
Dia adalahMaha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah
hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah
kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku,
sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang
berbunyi: “Dengan hak para nabi sebelumku”.
Dalam hadis lain juga disebutkan:
Ketika Nabi Adam
terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata, “Hai Tuhanku, aku memohon
kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku. Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad,
padahal belum Aku ciptakan?” Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau
ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku
mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La
ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak
menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.” Kemudian
Allah berfirman: “benar engkau hai Adam.Muhammad adalah makhluk yang paing Aku
cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku
mengampunimu, dan andaikata tidak karenaMuhammad maka Aku tidak menciptakanmu.”
(HR. al-Hakim,
at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa Nabi
Adam a.s adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan yang sering diajukan adalah, Jika tawasul
dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob
tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW.
Diketahui Sahabat Umar
bin Khattab r.a memang pernah bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib
ketika berdoa memohon hujan.
Dari Anas bin Malik r.a, beliau
berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Umar Ibn Khaththab bertawasul kepada
Abbas Ibnu Abdil Murhalib kemudian berdoa, “Ya Allah, kami pernah berdoa dan
bertawasul kepada-Mu dengan Nabi saw, maka engkau turunkan hujan. Dan
sekarang kami bertawasul dengabn paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan. Anas
berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.”(HR. Bukhari)
Berkaitan dengan hadis di atas, para ulama’ telah
menjelaskan: “Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah
dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar
bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan
kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa.
Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk
memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
Bertawasul kepada orang yang sudah meninggal juga
pernah dilakukan pada masa Sahabat. Dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan
bahwa para sahabat selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah
beliau wafat. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah
dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar
banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin
al-Harits ra datang ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah,
mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian ketika
Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar
dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka
akan dituruni hujan. Bilal lalu datang kepada kholifah Umar dan menyampaikan
berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”
Karena itu, demikian KH. A Nuril Huda, berdo’a dengan
memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan,
artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang
dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah
tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya: “Tidak ada yang bisa
mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa
memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.”
KH A Nuril Huda, dalam tulisannya menguatkan
pendapatnya tentang bolehnya bertawasul dengan orang yang sudah mati. Sebab
ketika seseorang mati maka yang rusak dan hancur adalah badannya atau jasadnya
saja, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Orang yang sudah mati ada di
alam barzakh yang mana mereka telah putus segala amal perbuatan
mereka untuk diri mereka sendiri. Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat
sebuah hadist yang artinya:
“Apabila manusia telah mati maka terputuslah
darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang
bermanfa’at atau anak shaleh yang mendo’akan.” (HR Muslim)
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi
juz III, dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa’i juz VI. Hadits
di atas menjadi dasar untuk menguatkan pendapat NU tentang bolehnya tawasul,
sebab apabila manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk
dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo’akan orang
yang di dunia tidak ada keterangan yang melarang.
Ketika melintasi kubur kita disunnahkan untuk
mengucapkan salam kepada ahli kubur, sebagaimana pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Menurut Nuri, ahli kubur juga akan menjawab salam yang kita
ucapkan. Dengan demikian, lanjutnya, mendo’akan orang tua, kemudian orang tua
di alam barzah mendo’akan kepada yang berdo’a agar selamat, hal ini tidak ada
larangan dalam agama. Baik orang yang berdo’a maupun ahli kubur seluruhnya
memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo’a di dunia, itu tidak
meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat
apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.
Perlu diketahui juga,
bahwa dalam NU ada tradisi yang disebut mahallul
qiyam, yakni, saatnya berdiri ketika dibacakan shalawat:
يَا
نَبِي سَلَامْ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلْ سَلَامْ عَلَيْكَ
“Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu”
Berkaitan dengan tawasul KH
Musthofa Agil Siradj, pernah mengatakan bahwa dalam kalimat”Wahai Nabi salam
kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu”; yang diucapkan, seakan-akan Nabi
hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran tawashul kepada Nabi, atau memanjatkan doa dengan
perantaraan Rasulullah saw.
Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap shalat, kita juga
selalu mengucapkan:
اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
Salam kepada Engkau wahai Nabi
KH
Musthofa Agil Siradj menjelaskan bahwa redaksi dari doa tersebut diharuskan
memakai kata ganti ( كَ )atau kata ganti orang kedua atau dlamir
mukhatab, yang berarti kamu atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan dlamir
ghaib ( هُ ) atau dia, atau beliau. Kita menyebut Nabi
dengan engkau. Ini artinya bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi
Muhammad SAW hadir di hadapan kita.
Maka pada setiap doa, setelah kita
berucap ”Alhamdulillah” segala puji bagi Allah, kita teruskan dengan
membaca berbagai shalawat. Baru setelah itu kita sampai pada inti dari doa
kita. Ini artinya saat berdoa, saat menyembah Allah harus ada makhluk Allah
bernama Muhammad SAW, demikian pendapat KH Musthofa Agil Siradj.
Adapun praktek pelaksanaan tawassul
dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah
itu ada tiga macam, yaitu:
1.
Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka.
Contoh: “Ya
Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau
atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk…”
2.
Meminta kepada orang
yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi
hajat-hajatnya seperti:
“Ya
Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau……”
3. Meminta sesuatu
yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya
sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng
dijadikan wasilah dan karena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.
0 komentar:
Posting Komentar