Minggu, 22 Mei 2016

fiqh hudud



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemberian hukum dalam rangka hak Allah swt, ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat dan terpeliharanya ketenteraman atau ketertiban umum.Oleh karena itu hukuman itu didasarkan atas hak Allah SWT, maka tidak dapat digugurkan, baik oleh individu maupun oleh masyarakat.
Hadirnya Islam di tengah-tengah kehidupan manusia merupakan rahmat.Rahmat berarti anugrah karunia atau pemberian Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Manusia diharapkan mampu mengambil manfaat secara maksimal dengan kesadaran akan dirinya sendiri. Semua aturan yang ada dalam  Islam, baik yang berupa perintah, larangan, maupun anjuran adalah untuk manusia itu sendri. Manusia hendaknya menerima ketentuan-ketentuan hukum islam dengan hati yang lapang kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.Dalam hal ini di antara aturan Islam yang hendak di bahas meliputi zina, qazf, minuman keras, dan lain sebagainya.
Untuk lebih meningkatkan wawasan mahasiswa dan pendalaman terhadap ilmu agama yang lebih luas lagi timbul rasa kecintaan terhadap ilmu agama, maka kami menganggap perlu untuk bisa lebih jauh mengenalinya termasuk materi yang akan dibahas ini yaitu Hukum Hudud.
Penyusunan makalah ini bertujuan supaya mengenali lebih jauh tentang ilmu agama khususnya hukum hudud, tetapi tidak hanya sekedar mengenali dan diharapkan agar memahami serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hudud ?
2.      Sebutkan macam-macam dari hudud ?
3.      Bagaimana syarat penentuan hudud ?



       BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hudud
1.      Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan).[1] Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya.[2]
Hukuman Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah swt didalam al-Quran atau hadits. Hukuman hudud ini adalah hak Allah swt yang tidak boleh ditukar ganti hukumannya dan tidak boleh di ubah dan dipindah. Hukuman Hudud tidak boleh dimaafkan oleh sesiapa pun.Mereka yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah atau rasul-Nya yang disebutkan di dalam al-Quran atau hadits adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang zalim. Seperti firman Allah swt yang bermaksud:
”Dan siapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 229)




2.  Syarat Penentuan Hudud
                           Penerapan hudud tidak dapat dilakukan tanpa 4 syarat yaitu sebagai berikut:
a.    Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
b.    Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
c.    Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
d.   Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa  dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.

3.      Macam-macam Hudud dan Hukumannya
a.      Zina
1.      Pengertian zina
         Zina yaitu melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat boleh hubungan pernikahan.[3] Jadi perbuatan Zina itu adalah haram hukumnya dan termasuk salah satu dosa besar, karena perbuatn tersebut termasuk perbuatan keji, pergaulan seperti binatang. Allah swt berfirman:
Ÿwur (#qçtø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
“Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Qs. Al-Isra’ : 32)

  2. Macam-macam zina dan sanksinya
1)   Zina muhshan adalah pezina yang antara seseorang yang sudah memiliki pasangan sah (menikah) atau sudah pernah menikah. Mereka akan dikenai hukum had dicambuk 100 kali, kemudian dirajam.
2)    Zina ghairu muhshan adalah pelaku zina yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah. Hukumannya maka mereka didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun.

Allah swt berfirman dalam surat an-Nur ayat 2 yang artinya “perempuan dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan terhadap keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan sekumpulan orang-orang yang beriman”. (Q.S. an-Nur:2)
Hukuman had diatas berdasarkan dengan hadits Nabi saw yang artinya “ambilah dariku! Ambilah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Jejaka yang berzina dengan gadis didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah menikah melakukan zina didera seratus kali dan dirajam”. (H.R. Muslim dari Ubadah bin Samit)
Ibnu Katsir juga menyebutkan pendapat Imam Ahmad, bahwa tidak sah akad seorang laki-laki yang bersih (dari zina) dengan seorang pezina hingga wanita itu bertaubat. Jika wanitaitu bertaubat maka sah akad atasnya. Demikian pula tdak sah pernikahan antara seorang perempuan yang merdeka dan bersih (dari zina) dengan laki-laki pezina sehingga laki-laki tersebut bertaubat. Hal ini berdasarka dengan firman Allah suran an-Nur ayat 3 “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan permpuan yang berzina tidak dikawini oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin”. (Q.S. an-Nur: 3)



3.   Syarat-syarat Had Zina
1)   Orang yang berzina:
-        Berakal
-       Baligh
-       Mengetahui bahwa zina itu haram
2)      Zina dilakukan karena kemauan sendiri bukan karena terpaksa

4.   Hikmah larangan zina
Ø Menjaga kehormatan perempuan agar tidak dijadikan barang yang diperjual belikan karena islam datang untuk memuliakan manusia, baik laki-laki dan perempuan.
Ø Mencegah percampuran nasab karena dengan dibolehkan zina berarti memasukkan anak yang bukan dari benihnya ke dalam keluarga yang nantinya akan mewarisi. Bukan anaknya dan memperlakukannya sebagai mahram padahal bukan mahramnya.
Ø Mencegah banyaknya anak yang ditelantarkan orang tua akibat malu anaknya lahir dari hasil perzinahan. Dan, melindungi bayi-bayi yang dibunuh ibunya sendiri ketika masih dalam kandungan (aborsi).
Ø  Menjaga keutuhan dan ketenteraman dalam rumah tangga.
Ø Mengharaman zina sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki rasa ghirah/cemburu terhadap kehormatannya, di mana tidak mungkin seseorang bisa menerima dan rela melihat istri, anak, ibu, dan saudari nya menjadi barang yang diperjualbelikan dan dijadikan pemuas nafsu orang lain.
Ø Mencegah menyebarnya kejahatan, khususnya pembunuhan, disebabkan rasa cemburu, di mana seorang suami bisa membunuh istrinya dan lelaki yang berzina dengannya karena rasa marah, cemburu ketika melihat istrinya berzina dengan lelaki lain, atau lelaki bisa membunuh suami wanita yang dizinahinya.
Ø Mencegah penyebaran penyakit menular yang merupakan hukuman dari Allah atas menyebarnya perbuatan keji tersebut, seperti HIV/AIDS.


b.   Qodzaf   
1. Pengertian Qadzaf                                       
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu syain berarti melempar sesuatu. Qadzaf menurut istilah adalah melempar tuduhan zina kepada orang lain tanpa adanya bukti-bukti yang kuat yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh. Allah swt  melaknat para pelaku qadzaf di dunia maupun di akhirat.
         Firman Allah SWT dalam Surat An-Nur ayat 23:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×LìÏàtã ÇËÌÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”. (Q.S. An-Nur : 23)

2. Syarat-syarat Qadzaf
1)   Qadzif (orang yang menuduh),
Ø Islam
Ø Berakal
Ø Baligh
Ø Ikhtiar (tidak dalam keadaan terpaksa).
Ø Dikenal di tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang suci, taat beribadah dan shalih.
Ø Mereka tidak mendatangkan empat orang saksi.
2)   Maqdzuf (orang yang dituduh)
·      Berakal
·      Baligh
·      Islam
·      Merdeka
·      Belum pernah dan menjauhi tuduhan tersebut
·      Meminta dijatuhkannya hukuman had bagi si qadzif

3)   Maqdzuf ‘Alaihi (tuduhan), syarat-syaratnya :
-       Sharih (jelas), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan-perkataan yang jelas dan tetap yang tidak boleh ditafsirkankepada maksud yang lain selain daripada zina dan penafian nasab (keturunan).
-       Kinayah (kiasan), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan yang tidak tetap akan tetapi memberi pengertian zina.
-       Ta’ridh (sindiran), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan tidak tetap juga dan memberi pengertian yang lain daripada zina sebagaimana yang dilakukan dalam perkataan kinayah.

3. Pembuktian Qadzaf
-       Penyaksian, yaitu saksi-saksi yang boleh diterima penyaksian untuk membuktikan ketetapan kesalahan qadzaf haruslah disaksikan oleh saksi-saksi yang layak menjadi dalam perbuatan zina. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan, yaitu:
ü  Memungkiri tuduhan itu dengan menghadirkan satu orang saksi baik laki-laki atau perempuan.
ü  Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau dua orang perempuan.
ü  Membuktikan tuduhan secara penuh dengan mengajukan empat orang saksi.
ü  Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhan itu maka suami dapat mengajukan sumpah li’an.
-          Pengakuan, yaitu seseorang yang mengaku bahwa ia telah menuduh orang lain berbuat zina, maka hakim boleh menjatuhkan had qadzaf pada dirinya.
-          Sumpah, yaitu dalam perbuatan qadzaf boleh ditetapkan kesalahan qadzaf dengan sumpah. Jikalau orang yang dituduh tidak mempunyai barang bukti untuk menolak dan menghindar dari tuduhan orang yang menuduh, maka orang yang dituduh itu hendaklah meminta kepada orang yang membuat tuduhan supaya bersumpah atas kebenaran tuduhannya itu.
-       Qarinah (bukti-bukti). Bukti yang kuat adalah bukti yang cukup untuk mengharuskan hukuman dilaksanakan.
4.    Hukuman bagi pelaku qadzaf
                          Orang yang melakukan kesalahan qadzaf hendaklah dihukum dengan hukuman dera atau dicambuk dengan 80 kali cambukan dan keterangannya sebagai seorang saksi tidak boleh diterima lagi sehingga dia bertaubat atas perbuatannya itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt “dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) itu dengan 80 kali deraan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”. (Q.S. an-Nur: 4)
5. Hal-hal yang menggugurkan hukuman qadzaf          
·         Mampu mendatangkan saksi
·         Bila yang dituduh membenarkan tuduhan si penuduh
·         Dimaafkan oleh orang yang dituduh


6.  Hikmah meninggalkan qadzaf
Ø Memelihara dan menjaga keturunan dengan baik.
Ø Menjaga dari jatuhnya harga diri dan rusaknya kehormatan keluarga.
ØMenjaga tertib dan teraturnya urusan rumah tangga. Biasanya seorang istri, apabila suaminya cenderung melakukan perbuatan zina timbul rasa benci dan ketidak harmonisan dalam rumah tangga.
Ø Timbulnya rasa kasih sayag terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah.
Ø Terjaganya akhlak islamiyah yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia dihadapan sesama dan sang Kholik.

c.    Khamr
1.  Pengertian Khamr
Khamr terambil dari kata khamara yang artinya menutupi. Dinamai demikian karena khamr menutupi akal. Menurut istilah khamr adalah segala sesuatu dari makanan atau minuman dan obat-obatan yang dapat menghilangkan akal dan memabukkan.[4] Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Syafi’i berpendapat apapun yang apabila diminum atau digunakan dalam keadaan yang normal oleh orang yang normal lalu memabukkan baik itu dari perasan anggur, kurma, gandum, buah-buahan, atau dari bahan  lain, maka ia adalah khamr.[5]Allah swt berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Al-Maidah : 90)
                 Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “barang siapa meminum khamr semasa di dunia dan belum sempat bertaubat maka di haramkan untuknya meminum di akhirat kelak”. (H.R. Bukhari Muslim)
                 Dalam riwayat lain tercantum “setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram. Barang siapa minum khamr didunia kemudian meninggal sementara ia pecandu khamr serta tidak bertaubat maka ia tidak akan meminumnya kelak di akhirat”. (H.R. Muslim)
                 Dari Thariq bin Suwaid al-Jufi’, bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang khamr. Nabi melarangnya. Lalu Thariq bin Suwaid berkata: “aku membuat khamr ini hanya untuk obat”. Rasulullah saw menjawab: “khamr itu bukan obat, tetapi justru penyakit”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).


2.    Hukuman bagi pengkonsumsi khamr
Al-qur'an tidak menegaskan hukuman apa bagi peminum khamr, namun sanksi dalam kasus ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yakni sunah fi'liyahnya, bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah didera sebanyak 40 kali. Abu Bakar as-Sidiq ra mengikuti jejak ini, Umar bin Khatab ra 80 kali dera sedang Ali bin Abu Thalib ra 40 kali dera. Namun tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa nabi saw membatasi 40 kali, sehingga khalifah Umar memukul dengan 80 kali. Dapun alat yang digunakan untuk memukul ada yang dari pelepah kurma, sandal, pakaian, dan ada yang dengan tangan. Oleh karena itu, dapat dipahami, alat apa yang akan digunakan untuk memukul terserah pada ketentuan dari hakim.

3.     Hikmah larangan mengkonsumsi khamr
Ø Masyarakat terhindar dari kejahatan dan permusuhan yang dilakukan seseorang yang diakibatkan pengaruh minuman keras dan Narkotika.
Ø Menjaga kesehatan jasmani dan rohani dari penyakit yang disebabkan pengaruh minuman keras dan Nakotika.
Ø Menjaga hati agar tetap taqorrub kepada Allah dan mengerjakan sholat sehingga selalu memperoleh cahaya hikmat. Minuman keras dan Narkotika yang mengganggu kestabilan jasmani dan rohani menyebabkan hati seseorang bertambah jauh dari mengungat Allah, hati menjadi gelap dan keras sehingga mudah sekali berbuat apa yang menjadi larangan Allah.

d.   Mencuri dan Merampok
1.     Pengertian mencuri dan merampok
Menurut bahasa, mencuri (sariqah) adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi. Adapun menurut istilah, adalah mengambil harta atau milik orang lain yang terjaga dan mengeluarkan dari tempat penyimpanan dengan cara sembunyi-sembunyi dan harta tersebut tidak syubhat. Allah swt berfirman :
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t È@ÏÜ»t6ø9$$Î (#qä9ôè?ur !$ygÎ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ  
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 188).

2.   Syarat dan Ketentuan Pencurian
Suatu perkara dapat ditetapkan sebagai pencurian apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
·         Orang yang mencuri adalah mukalaf, yaitu sudah baligh dan berakal
·         Pencurian itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi
·         Orang yang mencuri sama sekali tidak mempunyai andil memiliki terhadap barang yang dicuri
·         Barang yang dicuri adalah benar-benar milik orang lain
·         Barang yang dicuri mencapai jumlah nisab
·         Barang yang dicuri berada di tempat penyimpanan atau di tempat yang layak

3.    Hukuman bagi Pencuri
v  Mencuri yang pertama kali, maka dipotong tangan kanannya.
v  Mencuri kedua kalinya, dipotong kaki kirinya.
v  Mencuri yang ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya.
v  Mencuri yang ke empat kalinya, dipotong kaki kanannya.
v  Kalau masih mencuri, maka ia dipenjara sampai tobat.


4.   Hukuman bagi perampok
1.      Bagi perampok yang membunuh orang yang dirampoknya dan mengambil hartanya. Dalam hal ini hukumnya wajib di bunuh; sesudah dibunuh, kemudian disalibkan (dijemur)
2.       Bagi perampok yang mebunuh orang yang dirampoknya, tetapi hartanya tidak diambil. Hukumnya hanya dibunuh saja.
3.      Bagi perampok yang hanya mengambil harta bendanya saja, sedang orang orang yang dirampoknya tidak dibunuh, dan harta yang diambil sampai nisab, maka perampok trsebut mendapat hukuman potong tangan kanan dan kaki kirinya.
4.      Bagi perampok yang hanya menakut-nakuti saja, tidak membunuh dan   tidak mengambil harta benda. Hukumannya adalah penjara atau hukuman lainnya yang dapat membuat jera, agar ia tidak mengulanginya.

5.   Hikmah larangan mencuri dan merampok
1.      Orang akan menghindari dari tindakan kejahatan baik menyamun, merampok, dan merompak.
2.       Melindungi hak milik harta benda dan jiwa seseorang dengan aman.
3.       Mendorong manusia untuk mamiliki harta dengan cara sah dan halal
4.      Terwujudnya lingkungan yang aman , damai dan sejahtera.

B.     Ta’zir
1.   Pengertiaan Ta’zir
                        Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata azzara ya’zuru yang secara etimologis berarti man’u wa radda yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ﻨَﺼَﺮَﻩُ menolong atau menguatkan. Menurut Abdul Qadir Audah dan Wahbah az-Zuhaili, dikatakan  ta’zir adalah mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya dan merasakan efek jera terhadap pelaku. Ta’zir juga bisa berarti ta’dib (mendidik) karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari dan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Selain itu, ta’zir juga dapat diartikan sebagai menghinakan pelaku criminal karena perbuatannya.[6]  Hal ini seperti dalam firman Allah berikut :
لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا (٩)
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Q.S. Al-Fath: 9)
Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang ketentuan hukumannya tidak di tentukan Al-Qur’an dan Hadis. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain mengatakan sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kafarat. Jadijarimah ta’zir ditentukan oleh hakim atau penguasa. Dalam hal ini hakim diberi wewenang untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa pelanggaran. [7] dikalangan ulama’fuqaha’, jarimah ta’zir belum ditentukan secara syara’. Jadi istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).[8]
            Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa ta’zir dikenakan untuk para pelaku perbuatan maksiat yang tidak dikenai had dan tidak pula kifarat. Yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang dilarang (haram). Sebagai contoh sumpah palsu, menyentuk wanita yang bukan muhrimnya, berkhianat, riba, memakai barang yang diharamkan seperti darah, bangkai, dan sebagainya.




2.   Dasar Hukum Ta’zir
Pada jarimah ta’zir al-Qur’an dan al-Hadits tidak menerapkan secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah maupun hukumannya.[9] Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir adalah at-ta’zir yadurru ma’a mashlahah artinya hukum ta’zir didasarkan pada pertimbangan kemashlahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat.[10]
Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan adanya jarimah ta’zir adalah Qur’an surat al Fath ayat 8-9 yang artinya :
!$¯RÎ) š»oYù=yör& #YÎg»x© #\Ïe±t6ãBur #\ƒÉtRur ÇÑÈ   (#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç ¸xϹr&ur ÇÒÈ  
Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. (Q.S. al-Fath: 8-9)
Adapun Hadits yang dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:

عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول :  لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله
Dari Abu Burdah Al-Anshari RA. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :Tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala”. (Muttafaqun Alaih)
Berdasarkan hadits tersebut, hukuman ta’zir tidak boleh melebihi dari ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (hukum had atau jarimah lainnya). Dalam penentuan hukum ta’zir hak sepenuhnya diserahkan kepada hakim.

3.   Macam-macam Hukuman Ta’zir
a)      Berdasarkan asal ketentuan hukum ta’zir
1)      Jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur subhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan harta benda.
2)       Jarimah ta’zir yang jenisnya telah ditentukan oleh nash, tapi sanksinya oleh syar’i diserahkan  kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, menipu, mengingkari janji, mengkhinati amanat, dan menghina agama.
3)      Jarimah ta’zir dan jenis sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah lainnya.

b)     Dilihat dari segi berubah tidaknya sifat jarimah ta’zir
1)      Jarimah ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti mu’amalah dengan cara riba, memicu timbangan, megkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi, dan berbuat curang. Semua perbuatan tersebut dilarang dan sanksinya diserahkan kepada penguasa.
2)       Jarimah ta’zir yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah. Bentuknya dapat mengalami perubahan tergantung situasi dan kondisi masyarakat pada waktu tertentu, misalnya UU Lalu Lintas dan Angkutan Raya.

c)      Dilihat dari segi hak pidana ta’zir
1)      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, pemberontakan, perzinaan, dan tidak taat pada ulil amri.
2)      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusi, seperti tidak membayar hutang dan penghinaan

4.   Jenis-jenis jarimah ta’zir
1.      Ta’zir yang berkaitan dengan badan
a.        Hukuman Mati
Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan sunah. Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan. Pelaksanaan hukuman ta’zir dengan cara hukuman mati dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.)    Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati.      
2.)    Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.[11]
Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.
b.       Hukuman Jilid (Dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian perut dan dada, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya.
2.   Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
a.       Hukuman Penjara
Dalam bahasa Arab istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut dengan Al-Habsu yang artinya mencegah atau menahan. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud Al-Habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun di tempat lainnya.
Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:
1.)    Hukuman penjara terbatas
Adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur dan lain-lain. Adapun lamanya hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan dikalangan ulama.
2.)    Hukuman penjara tidak terbatas
Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman ini dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga.
b.      Hukuman Pengasingan
Di antara jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannats (waria), tindak pidana pemalsuan terhadap Alquran. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had. Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).

3.      Hukuman yang Berkaitan dengan Harta.

Ibn Taimiyah membagi sanksi ta’zir berupa harta menjadi tiga bagian, yaitu menghancurkannya, mengubahnya dan memilikinya yang bisa disebut dengan denda. Namun, para ulama tidak menentukan batas tertinggi dan terendah dalam sanksi ta’zir berupa harta.

4.      Hukuman Ta’zir lainnya oleh hakim.

a.       Peringatan dan Dihadirkan ke Hadapan Sidang
Peringatan itu dapat dilakukan dirumah atau dipanggil ke sidang pengadilan. Sudah tentu bentuk yang pertama disebut oleh para ulama sebagai peringatan keras semata-mata dan dianggap lebih ringan daripada bentuk peringatan yang kedua. Sebab pelaksanaan peringatan pertama pelaku cukup dirumah dan didatangi oleh petugas dari pengadilan, sedangkan peringatan kedua pelaku harus hadir ke pengadilan untuk mendapatkan peringatan langsung dari hakim. Dan pemilihan apakah peringatan bentuk pertama atau bentuk kedua yang akan diberikan kepada si pelaku itu sangat tergantung kepada kebijaksanaan hakim dengan mempertimbangkan jarimahnya, pelakunya dan kondisinya. Pemberian peringatan itu harus didasarkan kepada ada atau tidak adanya maslahat.

b.      Dicela
Para ulama mendasarkan pemberian sanksi ta’zir yang berupa celaan ini kepada sunnah Nabi yang menceritakan bahwa Abu Dzar pernah menghina seorang dengan menghina ibunya. Umar bin Khaththab juga pernah menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang yang memakai pakaian sutera asli.
Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa diucapkan didalam maupun diluar persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih tepat adalah dilakukan didepan pengadilan.

c.       Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah dan melarang masyarakat berhubungan dengannya. Dasar sanksi ini adalah firman Allah SWT:
“ wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka” (Q.S. al-Nisa: 34)

Sanksi ta’zir yang berupa pengecualian ini diberlakukan bila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu.

d.      Nasihat
yang dimaksud nasihat sebagai sanksi ta’zir sebagaimana dikatakan oleh ibn Abidin adalah memperingatkan si pelaku bila ia lupa atau tergelincir kepada suatu kesalahan yang bukan kebiasaannya
e.       Diumumkan Kejahatannya
Dasar hukuman pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zir adalah tindakan Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu keliling kota. Jumhur ulama berpendapat bahwa mengumumkan kejahatan seseorang itu diperkenankan. Dalam mazhab Syafi’i pengumuman juga boleh dengan menyuruh pencuri keliling pasar orang-orang pasar tahu bahwa ia adalah pencuri. Dengan demikian, menurut fuqaha sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.




















BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkanoleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya. Macam-macam hudud antara lain sebagai berikut :
Ø  Zina
Ø  Qodzaf
Ø  Khamr
Ø  Merampok dan mencuri
            Penerapan hudud tidak dapat dilakukan tanpa 4 syarat yaitu sebagai berikut:
Ø  a.    Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
Ø  b.    Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
Ø  c.    Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
Ø  d.   Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa  dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain





DAFTAR PUSTAKA

Asadulloh Al Faruk., Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Penerbit Ghalia Indonesia, 2009.
Kamus besar bahasa indonesia
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti., Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009.
Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan: Tafsir Ayat-ayat Hukum, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994.
Prof. Abdur Rahman I.Doi,. Ph.D., Tindak Pidana dalam Syariat Islam,  Jakarta: PT. Putra Melton, 1992.
Fiqhus Sunnah II.
Marsum, Jarimah Ta’zir : Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam , Yogyakarta : Fakultas Hukum UII,  1988.
Ahmad Wardi Muslih., Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
H.A. Djazuli., Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.









[1] Fiqhus Sunnah II., Hal. 302.
[2] Asadulloh Al Faruk., Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam,  Penerbit Ghalia Indonesia, 2009,  hal. 19

[3] Zina dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
[4] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti., Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009, Hal. 470
[5] Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan: Tafsir Ayat-ayat Hukum, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994, Hal. 434
[6] Prof. Abdur Rahman I.Doi,. Ph.D., Tindak Pidana dalam Syariat Islam,  Jakarta: PT. Putra Melton, 1992. Hlm. 14.
[7] Marsum, Jarimah Ta’zir : Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam , Yogyakarta : Fakultas Hukum UII,  1988.   Hal. 1
[8] Ahmad Wardi Muslih., Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 200. Hal.  249.
[9] Jaih Mubarok.,  Kaidah-Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004. Hal. 47.
[10] Makhrus Munajat., Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Cakrawala, 2006.  Hal. 14.
[11] H.A. Djazuli., Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Hal. 158-159.

0 komentar:

Posting Komentar