BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemberian hukum
dalam rangka hak Allah swt, ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat dan
terpeliharanya ketenteraman atau ketertiban umum.Oleh karena itu hukuman itu
didasarkan atas hak Allah SWT, maka tidak dapat digugurkan, baik oleh individu
maupun oleh masyarakat.
Hadirnya Islam di
tengah-tengah kehidupan manusia merupakan rahmat.Rahmat berarti anugrah karunia
atau pemberian Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Manusia diharapkan
mampu mengambil manfaat secara maksimal dengan kesadaran akan dirinya sendiri.
Semua aturan yang ada dalam Islam, baik
yang berupa perintah, larangan, maupun anjuran adalah untuk manusia itu sendri.
Manusia hendaknya menerima ketentuan-ketentuan hukum islam dengan hati yang
lapang kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.Dalam hal ini di
antara aturan Islam yang hendak di bahas meliputi zina, qazf, minuman keras,
dan lain sebagainya.
Untuk lebih
meningkatkan wawasan mahasiswa dan pendalaman terhadap ilmu agama yang lebih
luas lagi timbul rasa kecintaan terhadap ilmu agama, maka kami menganggap perlu
untuk bisa lebih jauh mengenalinya termasuk materi yang akan dibahas ini yaitu
Hukum Hudud.
Penyusunan makalah ini
bertujuan supaya mengenali lebih jauh tentang ilmu agama khususnya hukum hudud,
tetapi tidak hanya sekedar mengenali dan diharapkan agar memahami serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan hudud ?
2.
Sebutkan
macam-macam dari hudud ?
3.
Bagaimana
syarat penentuan hudud ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hudud
1.
Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal
artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had
berarti al-man’u (cegahan).[1]
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah
ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada
kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya.[2]
Hukuman Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan
ditetapkan Allah swt didalam al-Quran atau hadits. Hukuman hudud ini adalah hak
Allah swt yang tidak boleh ditukar ganti hukumannya dan tidak boleh di ubah dan
dipindah. Hukuman Hudud tidak boleh dimaafkan oleh sesiapa pun.Mereka yang melanggar
aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah atau rasul-Nya
yang disebutkan di dalam al-Quran atau hadits adalah termasuk dalam golongan
orang-orang yang zalim. Seperti firman Allah swt yang bermaksud:
”Dan siapa
yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 229)
2.
Syarat Penentuan Hudud
Penerapan hudud tidak dapat dilakukan tanpa 4
syarat yaitu sebagai berikut:
a.
Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
b.
Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
c.
Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
d.
Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini
bisa dibuktikan dengan pengakuannya
sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.
3.
Macam-macam
Hudud dan Hukumannya
a. Zina
1. Pengertian zina
Zina yaitu melakukan
persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat boleh
hubungan pernikahan.[3]
Jadi perbuatan Zina itu adalah haram hukumnya dan termasuk salah satu dosa
besar, karena perbuatn tersebut termasuk perbuatan keji, pergaulan seperti
binatang. Allah swt berfirman:
Ÿwur (#qçtø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ
“Dan
janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Qs.
Al-Isra’ : 32)
2. Macam-macam zina dan
sanksinya
1)
Zina muhshan adalah pezina yang antara seseorang yang sudah memiliki
pasangan sah (menikah) atau sudah pernah menikah. Mereka akan dikenai hukum had
dicambuk 100 kali, kemudian dirajam.
2)
Zina ghairu muhshan adalah pelaku zina yang belum pernah menikah dan tidak
memiliki pasangan sah. Hukumannya maka mereka didera (dicambuk) 100 kali.
Kemudian diasingkan selama setahun.
Allah swt berfirman dalam surat
an-Nur ayat 2 yang artinya “perempuan dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan terhadap keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama allah, jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan sekumpulan orang-orang yang beriman”. (Q.S. an-Nur:2)
Hukuman had diatas berdasarkan dengan
hadits Nabi saw yang artinya “ambilah dariku! Ambilah dariku! Sungguh Allah
telah memberi jalan kepada mereka. Jejaka yang berzina dengan gadis didera
seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah menikah
melakukan zina didera seratus kali dan dirajam”. (H.R. Muslim dari Ubadah
bin Samit)
Ibnu Katsir juga menyebutkan
pendapat Imam Ahmad, bahwa tidak sah akad seorang laki-laki yang bersih (dari
zina) dengan seorang pezina hingga wanita itu bertaubat. Jika wanitaitu
bertaubat maka sah akad atasnya. Demikian pula tdak sah pernikahan antara
seorang perempuan yang merdeka dan bersih (dari zina) dengan laki-laki pezina
sehingga laki-laki tersebut bertaubat. Hal ini berdasarka dengan firman Allah
suran an-Nur ayat 3 “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan permpuan yang berzina
tidak dikawini oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin”. (Q.S. an-Nur: 3)
3. Syarat-syarat Had Zina
1)
Orang yang berzina:
- Berakal
-
Baligh
-
Mengetahui bahwa zina itu haram
2)
Zina dilakukan karena kemauan sendiri bukan karena terpaksa
4. Hikmah larangan zina
Ø Menjaga
kehormatan perempuan agar tidak dijadikan barang yang diperjual belikan karena
islam datang untuk memuliakan manusia, baik laki-laki dan perempuan.
Ø Mencegah percampuran nasab karena
dengan dibolehkan zina berarti memasukkan anak yang bukan dari benihnya ke
dalam keluarga yang nantinya akan mewarisi. Bukan anaknya dan memperlakukannya
sebagai mahram padahal bukan mahramnya.
Ø Mencegah banyaknya anak yang
ditelantarkan orang tua akibat malu anaknya lahir dari hasil perzinahan. Dan,
melindungi bayi-bayi yang dibunuh ibunya sendiri ketika masih dalam kandungan
(aborsi).
Ø Menjaga
keutuhan dan ketenteraman dalam rumah tangga.
Ø Mengharaman zina sesuai dengan
fitrah manusia yang memiliki rasa ghirah/cemburu terhadap kehormatannya, di
mana tidak mungkin seseorang bisa menerima dan rela melihat istri, anak, ibu,
dan saudari nya menjadi barang yang diperjualbelikan dan dijadikan pemuas nafsu
orang lain.
Ø Mencegah menyebarnya kejahatan,
khususnya pembunuhan, disebabkan rasa cemburu, di mana seorang suami bisa
membunuh istrinya dan lelaki yang berzina dengannya karena rasa marah, cemburu
ketika melihat istrinya berzina dengan lelaki lain, atau lelaki bisa membunuh
suami wanita yang dizinahinya.
Ø Mencegah penyebaran penyakit menular yang merupakan
hukuman dari Allah atas menyebarnya perbuatan keji tersebut, seperti HIV/AIDS.
b.
Qodzaf
1. Pengertian Qadzaf
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu
syain berarti melempar sesuatu. Qadzaf menurut istilah adalah melempar tuduhan
zina kepada orang lain tanpa adanya bukti-bukti yang kuat yang karenanya
mewajibkan hukuman had bagi tertuduh. Allah swt melaknat para pelaku qadzaf di dunia maupun di
akhirat.
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nur
ayat 23:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 ’Îû $u‹÷R‘‰9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#x‹tã ×LìÏàtã ÇËÌÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar”. (Q.S. An-Nur : 23)
2. Syarat-syarat
Qadzaf
1) Qadzif
(orang yang menuduh),
Ø Islam
Ø Berakal
Ø Baligh
Ø Ikhtiar (tidak dalam keadaan terpaksa).
Ø Dikenal di tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang
suci, taat beribadah dan shalih.
Ø Mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi.
2) Maqdzuf
(orang yang dituduh)
· Berakal
· Baligh
· Islam
· Merdeka
· Belum pernah
dan menjauhi tuduhan tersebut
· Meminta
dijatuhkannya hukuman had bagi si qadzif
3)
Maqdzuf ‘Alaihi (tuduhan), syarat-syaratnya :
-
Sharih (jelas), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan-perkataan yang
jelas dan tetap yang tidak boleh ditafsirkankepada maksud yang lain selain
daripada zina dan penafian nasab (keturunan).
-
Kinayah (kiasan), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas
dan yang tidak tetap akan tetapi memberi pengertian zina.
-
Ta’ridh (sindiran), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak
jelas dan tidak tetap juga dan memberi pengertian yang lain daripada zina
sebagaimana yang dilakukan dalam perkataan kinayah.
3.
Pembuktian Qadzaf
- Penyaksian,
yaitu saksi-saksi yang boleh diterima penyaksian untuk membuktikan ketetapan
kesalahan qadzaf haruslah disaksikan oleh saksi-saksi yang layak menjadi dalam
perbuatan zina. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa
kemungkinan, yaitu:
ü
Memungkiri
tuduhan itu dengan menghadirkan satu orang saksi baik laki-laki atau perempuan.
ü
Membuktikan
bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang
laki-laki atau dua orang perempuan.
ü
Membuktikan
tuduhan secara penuh dengan mengajukan empat orang saksi.
ü
Bila yang
dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhan itu maka suami dapat mengajukan
sumpah li’an.
- Pengakuan,
yaitu seseorang yang mengaku bahwa ia telah menuduh orang lain berbuat zina,
maka hakim boleh menjatuhkan had qadzaf pada dirinya.
- Sumpah,
yaitu dalam perbuatan qadzaf boleh ditetapkan kesalahan qadzaf dengan sumpah.
Jikalau orang yang dituduh tidak mempunyai barang bukti untuk menolak dan
menghindar dari tuduhan orang yang menuduh, maka orang yang dituduh itu
hendaklah meminta kepada orang yang membuat tuduhan supaya bersumpah atas
kebenaran tuduhannya itu.
- Qarinah
(bukti-bukti). Bukti yang kuat adalah bukti yang cukup untuk mengharuskan
hukuman dilaksanakan.
4. Hukuman bagi pelaku qadzaf
Orang yang melakukan
kesalahan qadzaf hendaklah dihukum dengan hukuman dera atau dicambuk dengan 80
kali cambukan dan keterangannya sebagai seorang saksi tidak boleh diterima lagi
sehingga dia bertaubat atas perbuatannya itu. Hal ini sesuai dengan firman
Allah swt “dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh)
itu dengan 80 kali deraan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya”. (Q.S. an-Nur: 4)
5. Hal-hal yang menggugurkan hukuman qadzaf
·
Mampu mendatangkan saksi
·
Bila yang dituduh membenarkan tuduhan si penuduh
·
Dimaafkan oleh orang yang dituduh
6. Hikmah meninggalkan qadzaf
Ø Memelihara dan menjaga keturunan
dengan baik.
Ø Menjaga dari
jatuhnya harga diri dan rusaknya kehormatan keluarga.
ØMenjaga tertib dan teraturnya urusan rumah tangga.
Biasanya seorang istri, apabila suaminya cenderung melakukan perbuatan zina
timbul rasa benci dan ketidak harmonisan dalam rumah tangga.
Ø Timbulnya rasa kasih sayag terhadap
anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah.
Ø Terjaganya akhlak islamiyah yang
akan mengangkat harkat dan martabat manusia dihadapan sesama dan sang Kholik.
c. Khamr
1. Pengertian
Khamr
Khamr terambil
dari kata khamara yang artinya menutupi. Dinamai demikian karena khamr menutupi
akal. Menurut istilah khamr adalah segala sesuatu dari makanan atau
minuman dan obat-obatan yang dapat menghilangkan akal dan memabukkan.[4]
Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Syafi’i berpendapat apapun yang apabila
diminum atau digunakan dalam keadaan yang normal oleh orang yang normal lalu
memabukkan baik itu dari perasan anggur, kurma, gandum, buah-buahan, atau dari
bahan lain, maka ia adalah khamr.[5]Allah
swt berfirman :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S.
Al-Maidah : 90)
Dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “barang
siapa meminum khamr semasa di dunia dan belum sempat bertaubat maka di haramkan
untuknya meminum di akhirat kelak”. (H.R. Bukhari Muslim)
Dalam
riwayat lain tercantum “setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap yang
memabukkan itu haram. Barang siapa minum khamr didunia kemudian meninggal
sementara ia pecandu khamr serta tidak bertaubat maka ia tidak akan meminumnya
kelak di akhirat”. (H.R. Muslim)
Dari
Thariq bin Suwaid al-Jufi’, bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah saw
tentang khamr. Nabi melarangnya. Lalu Thariq bin Suwaid berkata: “aku membuat
khamr ini hanya untuk obat”. Rasulullah saw menjawab: “khamr itu bukan obat,
tetapi justru penyakit”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
2. Hukuman bagi pengkonsumsi khamr
Al-qur'an tidak menegaskan hukuman
apa bagi peminum khamr, namun sanksi dalam kasus ini didasarkan pada hadits
Rasulullah saw yakni sunah fi'liyahnya, bahwa hukuman terhadap jarimah ini
adalah didera sebanyak 40 kali. Abu Bakar as-Sidiq ra mengikuti jejak ini, Umar
bin Khatab ra 80 kali dera sedang Ali bin Abu Thalib ra 40 kali dera. Namun
tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa nabi saw membatasi 40 kali, sehingga khalifah
Umar memukul dengan 80 kali. Dapun alat yang digunakan untuk memukul ada yang
dari pelepah kurma, sandal, pakaian, dan ada yang dengan tangan. Oleh karena
itu, dapat dipahami, alat apa yang akan digunakan untuk memukul terserah pada
ketentuan dari hakim.
3. Hikmah larangan mengkonsumsi khamr
Ø Masyarakat terhindar dari kejahatan
dan permusuhan yang dilakukan seseorang yang diakibatkan pengaruh minuman keras
dan Narkotika.
Ø Menjaga kesehatan jasmani dan rohani
dari penyakit yang disebabkan pengaruh minuman keras dan Nakotika.
Ø Menjaga hati agar tetap taqorrub
kepada Allah dan mengerjakan sholat sehingga selalu memperoleh cahaya hikmat.
Minuman keras dan Narkotika yang mengganggu kestabilan jasmani dan rohani
menyebabkan hati seseorang bertambah jauh dari mengungat Allah, hati menjadi
gelap dan keras sehingga mudah sekali berbuat apa yang menjadi larangan Allah.
d. Mencuri dan
Merampok
1. Pengertian
mencuri dan merampok
Menurut bahasa, mencuri (sariqah) adalah mengambil
sesuatu yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi. Adapun menurut istilah,
adalah mengambil harta atau milik orang lain yang terjaga dan mengeluarkan dari
tempat penyimpanan dengan cara sembunyi-sembunyi dan harta tersebut tidak
syubhat. Allah swt berfirman :
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t È@ÏÜ»t6ø9$$Î (#qä9ô‰è?ur !$ygÎ ’n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 188).
2. Syarat dan Ketentuan
Pencurian
Suatu perkara dapat ditetapkan
sebagai pencurian apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
·
Orang yang
mencuri adalah mukalaf, yaitu sudah baligh dan berakal
·
Pencurian
itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi
·
Orang yang
mencuri sama sekali tidak mempunyai andil memiliki terhadap barang yang dicuri
·
Barang yang
dicuri adalah benar-benar milik orang lain
·
Barang yang
dicuri mencapai jumlah nisab
·
Barang yang
dicuri berada di tempat penyimpanan atau di tempat yang layak
3. Hukuman bagi Pencuri
v Mencuri yang pertama kali, maka dipotong tangan
kanannya.
v Mencuri kedua kalinya, dipotong kaki kirinya.
v Mencuri yang ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya.
v Mencuri yang ke empat kalinya, dipotong kaki kanannya.
v Kalau masih mencuri, maka ia dipenjara sampai tobat.
4. Hukuman bagi
perampok
1. Bagi perampok yang membunuh orang yang dirampoknya dan
mengambil hartanya. Dalam hal ini hukumnya wajib di bunuh; sesudah dibunuh,
kemudian disalibkan (dijemur)
2. Bagi perampok
yang mebunuh orang yang dirampoknya, tetapi hartanya tidak diambil. Hukumnya
hanya dibunuh saja.
3. Bagi perampok yang hanya mengambil harta bendanya
saja, sedang orang orang yang dirampoknya tidak dibunuh, dan harta yang diambil
sampai nisab, maka perampok trsebut mendapat hukuman potong tangan kanan dan
kaki kirinya.
4. Bagi perampok yang hanya menakut-nakuti saja, tidak
membunuh dan tidak mengambil harta
benda. Hukumannya adalah penjara atau hukuman lainnya yang dapat membuat jera,
agar ia tidak mengulanginya.
5. Hikmah
larangan mencuri dan merampok
1. Orang akan menghindari dari tindakan kejahatan baik
menyamun, merampok, dan merompak.
2. Melindungi
hak milik harta benda dan jiwa seseorang dengan aman.
3. Mendorong
manusia untuk mamiliki harta dengan cara sah dan halal
4. Terwujudnya lingkungan yang aman , damai dan
sejahtera.
B.
Ta’zir
1.
Pengertiaan
Ta’zir
Ta’zir adalah
bentuk mashdar dari kata azzara ya’zuru yang secara etimologis berarti man’u
wa radda yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ﻨَﺼَﺮَﻩُ
menolong atau menguatkan. Menurut Abdul Qadir Audah
dan Wahbah az-Zuhaili, dikatakan ta’zir
adalah mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak
mengulangi perbuatannya dan merasakan efek jera terhadap pelaku. Ta’zir juga
bisa berarti ta’dib (mendidik) karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik
dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari dan tidak mengulangi perbuatan
tersebut. Selain itu, ta’zir juga dapat diartikan sebagai menghinakan pelaku
criminal karena perbuatannya.[6]
Hal ini seperti dalam firman Allah
berikut :
لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ
وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا (٩)
“Supaya kamu sekalian beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih
kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Q.S.
Al-Fath: 9)
Sebagian ulama mengartikan ta’zir
sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak
hamba yang ketentuan hukumannya tidak di tentukan Al-Qur’an dan Hadis. Ta’zir
berfungsi memberikan pengajaran kepada si terhukum dan sekaligus mencegahnya
untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain mengatakan sebagai
sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had
atau kafarat. Jadijarimah ta’zir ditentukan oleh hakim atau penguasa. Dalam hal
ini hakim diberi wewenang untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa
pelanggaran. [7]
dikalangan ulama’fuqaha’, jarimah ta’zir belum ditentukan secara syara’. Jadi
istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak
pidana).[8]
Dari
definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa ta’zir dikenakan untuk para pelaku
perbuatan maksiat yang tidak dikenai had dan tidak pula kifarat. Yang dimaksud
dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan
perbuatan yang dilarang (haram). Sebagai contoh sumpah palsu, menyentuk wanita
yang bukan muhrimnya, berkhianat, riba, memakai barang yang diharamkan seperti
darah, bangkai, dan sebagainya.
2.
Dasar Hukum Ta’zir
Pada jarimah ta’zir al-Qur’an dan
al-Hadits tidak menerapkan secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah
maupun hukumannya.[9] Dasar
hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir adalah at-ta’zir
yadurru ma’a mashlahah artinya hukum ta’zir didasarkan pada pertimbangan
kemashlahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat.[10]
Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan
adanya jarimah ta’zir adalah Qur’an surat al Fath ayat 8-9 yang artinya :
!$¯RÎ) š»oYù=y™ö‘r& #Y‰Îg»x© #\Ïe±t6ãBur #\ƒÉ‹tRur ÇÑÈ (#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î ¾Ï&Î!qß™u‘ur çnrâ‘Ìh“yèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç ¸x‹Ï¹r&ur ÇÒÈ
“Sesungguhnya kami mengutus
kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kamu
sekalian beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya,
membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. (Q.S.
al-Fath: 8-9)
Adapun Hadits yang dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai
berikut:
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و
سلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله
“Dari Abu Burdah Al-Anshari
RA. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :Tidak boleh dijilid diatas
sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah
ta’ala”. (Muttafaqun Alaih)
Berdasarkan hadits tersebut,
hukuman ta’zir tidak boleh melebihi dari ketentuan hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT (hukum had atau jarimah lainnya). Dalam penentuan hukum ta’zir
hak sepenuhnya diserahkan kepada hakim.
3. Macam-macam Hukuman Ta’zir
a) Berdasarkan asal
ketentuan hukum ta’zir
1) Jarimah hudud dan
qisas diyat yang mengandung unsur subhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal
itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta syirkah,
pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan harta benda.
2) Jarimah ta’zir yang jenisnya telah ditentukan
oleh nash, tapi sanksinya oleh syar’i diserahkan kepada penguasa, seperti
sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, menipu, mengingkari janji,
mengkhinati amanat, dan menghina agama.
3) Jarimah ta’zir dan jenis
sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya
kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang utama.
Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan
pelanggaran terhadap peraturan pemerintah lainnya.
b) Dilihat
dari segi berubah tidaknya sifat jarimah ta’zir
1) Jarimah
ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti mu’amalah dengan cara
riba, memicu timbangan, megkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi, dan
berbuat curang. Semua perbuatan tersebut dilarang dan sanksinya diserahkan
kepada penguasa.
2) Jarimah ta’zir yang ditentukan oleh penguasa
atau pemerintah. Bentuknya dapat mengalami perubahan tergantung situasi dan
kondisi masyarakat pada waktu tertentu, misalnya UU Lalu Lintas dan Angkutan
Raya.
c) Dilihat dari segi hak pidana ta’zir
1) Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu yang berkaitan
dengan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan,
pencurian, pemberontakan, perzinaan, dan tidak taat pada ulil amri.
2) Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu segala sesuatu
yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusi, seperti tidak membayar hutang
dan penghinaan
4. Jenis-jenis jarimah ta’zir
1. Ta’zir yang berkaitan dengan badan
a.
Hukuman Mati
Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash
untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah,
zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah
ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Sebagian
fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus
penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan sunah.
Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath)
dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan. Pelaksanaan
hukuman ta’zir dengan cara hukuman mati dilakukan dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
1.) Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh
hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati.
2.) Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan
terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka
bumi.[11]
Adapun alat yang
digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan
yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang
mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan
ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan
tidak menganiaya terhukum, karena kematian
terhukum dengan pedang lebih cepat.
b. Hukuman Jilid (Dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan
(sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pukulan
atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan
diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk
bagian perut dan dada, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan
keselamatan orang yang terhukum.
Dari uraian tersebut,
dapat dipahami bahwa hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan
membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai membahayakan
jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya.
2. Hukuman yang
Berkaitan dengan Kemerdekaan
a.
Hukuman Penjara
Dalam bahasa Arab
istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut dengan Al-Habsu yang artinya
mencegah atau menahan. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud Al-Habsu
menurut syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan
seseorang dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan
tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun di tempat lainnya.
Hukuman penjara dalam
syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:
1.) Hukuman penjara terbatas
Adalah hukuman
penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini
diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakan riba, melanggar
kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur dan
lain-lain. Adapun lamanya hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan dikalangan
ulama.
2.) Hukuman penjara tidak terbatas
Hukuman penjara tidak
terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang
terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman
penjara seumur hidup. Hukuman ini dikenakan kepada penjahat yang sangat
berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang
ketiga.
b.
Hukuman Pengasingan
Di antara jarimah
ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku
mukhannats (waria), tindak pidana pemalsuan terhadap Alquran. Hukuman
pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh
kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk
menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.
Menurut Syafi’iyah
dan Hanabilah, masa pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun agar tidak
melebihi masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had.
Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab
pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas
waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).
3.
Hukuman
yang Berkaitan dengan Harta.
Ibn Taimiyah membagi sanksi ta’zir berupa harta
menjadi tiga bagian, yaitu menghancurkannya, mengubahnya dan memilikinya yang
bisa disebut dengan denda. Namun, para ulama tidak menentukan batas tertinggi
dan terendah dalam sanksi ta’zir berupa harta.
4. Hukuman Ta’zir
lainnya oleh hakim.
a. Peringatan dan
Dihadirkan ke Hadapan Sidang
Peringatan itu dapat dilakukan dirumah atau dipanggil
ke sidang pengadilan. Sudah tentu bentuk yang pertama disebut oleh para ulama
sebagai peringatan keras semata-mata dan dianggap lebih ringan daripada bentuk
peringatan yang kedua. Sebab pelaksanaan peringatan pertama pelaku cukup
dirumah dan didatangi oleh petugas dari pengadilan, sedangkan peringatan kedua
pelaku harus hadir ke pengadilan untuk mendapatkan peringatan langsung dari
hakim. Dan pemilihan apakah peringatan bentuk pertama atau bentuk kedua yang
akan diberikan kepada si pelaku itu sangat tergantung kepada kebijaksanaan
hakim dengan mempertimbangkan jarimahnya, pelakunya dan kondisinya. Pemberian
peringatan itu harus didasarkan kepada ada atau tidak adanya maslahat.
b. Dicela
Para ulama mendasarkan pemberian sanksi ta’zir yang
berupa celaan ini kepada sunnah Nabi yang menceritakan bahwa Abu Dzar pernah
menghina seorang dengan menghina ibunya. Umar bin Khaththab juga pernah
menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang yang memakai pakaian sutera asli.
Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa
diucapkan didalam maupun diluar persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih
tepat adalah dilakukan didepan pengadilan.
c. Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan
berhubungan dengan si pelaku jarimah dan melarang masyarakat berhubungan
dengannya. Dasar sanksi ini adalah firman Allah SWT:
“ wanita-wanita yang kamu
khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat
tidur mereka” (Q.S. al-Nisa: 34)
Sanksi ta’zir yang berupa pengecualian ini diberlakukan
bila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat
tertentu.
d. Nasihat
yang
dimaksud nasihat sebagai sanksi ta’zir sebagaimana dikatakan oleh ibn Abidin
adalah memperingatkan si pelaku bila ia lupa atau tergelincir kepada suatu
kesalahan yang bukan kebiasaannya
e. Diumumkan
Kejahatannya
Dasar hukuman pengumuman kejahatan sebagai hukuman
ta’zir adalah tindakan Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi
hukuman jilid lalu keliling kota. Jumhur ulama berpendapat bahwa mengumumkan
kejahatan seseorang itu diperkenankan. Dalam mazhab Syafi’i
pengumuman juga boleh dengan menyuruh pencuri keliling pasar orang-orang pasar
tahu bahwa ia adalah pencuri. Dengan demikian,
menurut fuqaha sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan
agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan
perbuatan serupa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah
ditetapkanoleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada
kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya. Macam-macam hudud antara lain
sebagai berikut :
Ø Zina
Ø Qodzaf
Ø Khamr
Ø Merampok dan
mencuri
Penerapan hudud tidak dapat dilakukan tanpa 4 syarat yaitu sebagai berikut:
Ø a. Pelaku
kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
Ø
b.
Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
Ø
c.
Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
Ø d. Kejahatannya
terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau
dengan bukti persaksian orang lain
DAFTAR PUSTAKA
Asadulloh Al
Faruk., Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Penerbit Ghalia
Indonesia, 2009.
Kamus
besar bahasa indonesia
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam
Jalaluddin as-Suyuti., Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2009.
Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai’ul
Bayan: Tafsir Ayat-ayat Hukum, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994.
Prof. Abdur Rahman I.Doi,. Ph.D., Tindak Pidana
dalam Syariat Islam, Jakarta: PT.
Putra Melton, 1992.
Fiqhus Sunnah II.
Marsum, Jarimah Ta’zir : Perbuatan Dosa
dalam Hukum Pidana Islam , Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, 1988.
Ahmad Wardi Muslih., Hukum Pidana
Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
H.A. Djazuli., Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
[2] Asadulloh Al Faruk., Hukum
Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Penerbit
Ghalia Indonesia, 2009, hal. 19
[3] Zina
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
[4] Imam Jalaluddin
al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti., Tafsir Jalalain, Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2009, Hal. 470
[5]
Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan: Tafsir Ayat-ayat Hukum,
Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994, Hal. 434
[6] Prof. Abdur Rahman I.Doi,. Ph.D.,
Tindak Pidana dalam Syariat Islam,
Jakarta: PT. Putra Melton, 1992. Hlm. 14.
[7] Marsum,
Jarimah Ta’zir : Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam , Yogyakarta
: Fakultas Hukum UII, 1988. Hal. 1
[10] Makhrus Munajat., Reaktualisasi
Pemikiran Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Cakrawala, 2006. Hal. 14.
0 komentar:
Posting Komentar