Selasa, 24 Mei 2016

Resensi Novel Air Mata Tuhan



AIR MATA TUHAN
“Memoar Istri Yang Menggenggam Cinta Sampai Akhir Hayat”

Pengarang                   : Aguk Irawan M.N.
Judul                           : Air Mata Tuhan
Penerbit                      : Imania
Kode Buku                 : XA-17
ISBN                           : 9786027926172
Tahun Terbit                : September 2014
Halaman                      : 352 Halaman
Berat                           : 0,28 Kg
Format                         : Soft Cover
Harga                          : Rp. 60.000
Air Mata Tuhan adalah sebuah novel buah karya dari Aguk Irawan M.N. Sebuah novel yang menceritakan tentang lika-liku kisah percintaan segitiga antara Fisha, Fikri, dan Hamzah. Novel ini mengundang banyak perhatian bagi para pecinta sastra terutama, tak luput pula seorang penulis novel Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El-Khalieqy) “Ini novel yang hebat, sebuah perjalanan perempuan muda yang sangat tangguh menghadapi berbagai cobaan, kesedihan dan air mata. Karakter tokoh utamanya disuguhkan begitu kuat dan detail dengan bahasa yang lembut dan menyala-nyala. Saya berikan dua jempol untuk penulis”. Ujarnya.
Novel ini lahir dari goresan pena seorang Aguk Irawan M.N. Dalam novel tersebut mengajarkan banyak hal dalam kehidupan ini, terutama permasalah rumah tangga. Urusan rumah tangga memang tidak semudah yang di bayangkan, banyak liku-liku cobaan yang menghadang. Pernikahan bukanlah hanya sekedar akad yang menghalalkan hubungan badan, namun pernikahan adalah ikatan yang paling suci karena perjanjiannya tidak hanya bersumpah atas nama Tuhan, tapi oleh kedua hati yang sama-sama mengikrarkan cinta. Sebagai novel penggugah jiwa, novel ini secara rinci menyampaikan pesan-pesannya terhadap para pembaca. Sehinggga pembaca akan lebih tenggelam dalam alur cerita tersebut. Novel ini menggambarkan hal itu dengan cara yang begitu indah.
Berikut sedikit kutipan dari novel Air Mata Tuhan Jiwa Fisha melayang-layang. Hatinya pun menjerit-jerit. Rasa kesakitan karena kanker rahim itu semakin memuncak, seiring jiwanya yang terkapar dalam ketidakberdayaan. Dengan tangan gemetar, ia usap air matanya dengan ujung jarinya. Ia tak menyangka bahwa hinaan dan kebencian itu akan menghadapkannya pada pilihan yang sangat tidak ia bayangkan: bercerai atau dimadu?
Ya, Allah untuk inikah aku membangun rumah tanggaku? Setelah Kau angkat calon bayi dari rahimku? Setelah Kau buat dua kali aku keguguran? Setelah kujaga terus cinta dan sayangku kepada suamiku? Setelah Kau beri aku kesakitan dengan penyakit ini? Setelah Kau ambil ayahku? O inikah tujuan-Mu sesungguhnya, ya Rabb?”.
Kelebihan:
1.      Bahasa yang digunakan oleh penulis sangatlah indah, penempatan kata, dan diksi. Hal tersebut terlihat dari baik percakapan berikut “suatu ketika aku bermimpi, salah satu Malaikat membisikiku dengan lembut, bahwa indah itu seperti bulan purnama… tapi aku menolaknya, dan aku segera menggelengkan kepalaku. Kemudian ia membisikiku lagi di telinga kiriku, bahwa indah dan cantik itu seperti Planet Venus… menurutku tidak juga. Sebab seindah apapun rembulan, venus atau bumi, tanpa kehadiran orang yang menggetarkan hatinya, pastilah lenyap nilai keindahan itu, lalu mereka tertawa”.
2.      Tidak hanya mengangkat kisah-kisah percintaan, namun terselip juga nilai-nilai religi, sosial, dan budaya. Berikut sedikit kutipannya :
“Ilahi….Wahai, Kekasihku. Wahai, Harapanku. Wahai, Pelindungku. Wahai, Penolongku. Wahai, Dzat Yang Tak Pernah Letih. Wahai, Dzat Yang Tak Pernah Lelah. Wahai, Dzat Yang Maha Perkasa. Hamba memohon dengan hati yang hampir putus asa. Dengan nama-Mu, demi Kebesaran-Mu. Dengan Kekuasaan-Mu. Demi Diri-Mu. Selamatkan suami hamba, Ya Rabb. Selamatkan dia…”
3.      Setiap kata yang disajikan oleh penulis memicu visualisasi bagi para pembaca. Berikut sedikit kutipannya :
“Fikri terus berlari. Menyisakan jejak-jejak darah Fisha yang jatuh di atas tanah. Bibir Fikri mendendangkan tasbih, mengharap kekuatan dari Allah Swt. Senyampang dengan itu, berkali-kali ia berkata, “kuatkan dirimu, Bunda. Kuatkan engkau. Ya Allah. Tolong aku….”.
4.      Dari buku ini kita belajar bahwa perjalanan hidup itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang begitu mulus tanpa sedikit pun halangan. Namun hidup adalah sebuah dilema, dimana kita harus memilih satu dari beragam pilihan. Hidup membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Mana kala ketika badai menerp, jiwa harus siap siaga dalam menghadapinya. Menang bukan kerena berperang, namun sebab tidak pernah menyerah.
5.      Lewat novel ini kita dapat bercermin pada sesosok Fisha -salah satunya-, bagaimana ia memperjuangkan rumah tangganya tetap harmonis meskipun kenyataan yang harus dipilih sangatlah tragis: antara di cerai atau di madu. Ini menjadi pelajaran yang amat sangat berharga, terutama dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Rumah tangga tidak cukup dengan bergelimbangan harta dan bertahta, namun rumah tangga lebih memerlukan kesetiaan yang didasari rasa mahabbah kepada-Nya.
6.      Namun sayangnya, penulis kurang mengupas kisah semasa remaja sesosok Fisha sehingga dapat menjadi makhluk yang banyak digandrungi oleh kaum pujangga. Apabila di kupas lebih mendetail, kita dapat memetik pelajaran dan menjadi bahan muhasabah diri.


3 komentar: